Oleh:
Iskandar
(Pustakawan Madya
Unhas)
ABSTRAK
Tulisan ini mencoba memberi gambaran singkat tentang arti
pentingnya wahana pembelajaran sepanjang hayat. Dalam tulisan ini dipaparkan dasar hukum pembelajaran sepanjang hayat di Indonesia, strategi pendidikan sepanjang hayat, dan implementasi
pendidikan sepanjang hayat.
Untuk merealisasikan wahana pembelajaran sepanjang hayat
dapat dilakukan dengan mudah jika seluruh komponen ”pembelajaran” (stakeholder) mampu bekerja sama dalam
satu perspektif yaitu merealisasikan satu tujuan utama pembelajaran sesuai
amanat UUD 1945, mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kata Kunci: Perpustakaan; Pembelajaran Sepanjang Hayat; Pustakawan
I. PENDAHULUAN
A. Pendahuluan
Pustakawan[1] sebagai penggerak utama
dalam rangka meningkatkan kecerdasan kehidupan bangsa, dengan menumbuhkan
budaya gemar membaca melalui pengembangan dan pendayagunaan perpustakaan
sebagai sumber informasi yang berupa karya tulis, karya cetak, dan/atau karya
rekam.[2]
Hal di atas
berarti bahwa pustakawan memiliki tugas utama untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa dengan bekerja secara maksimal mengembangkan dan mendayagunakan
perpustakaan sebagai sarana yang berisi informasi yang mendukung keberhasilan
pendidikan.
Fungsi perpustakaan dalam Undang-Undang
Perpustakaan adalah sebagai:
1.
Wahana belajar sepanjang hayat, mengembangkan potensi
masyarakat agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab dalam mendukung penyelenggaraan
pendidikan nasional,
2.
Wahana penelitian,
3.
Wahana informasi,
4.
Wahana rekreasi untuk meningkatkan kecerdasan dan
keberdayaan bangsa,
5.
Wahana pelestarian kekayaan budaya bangsa.[3]
Fungsi perpustakaan di atas untuk mendukung Sistem Pendidikan
Nasional sehingga terbentuk masyarakat yang mempunyai budaya membaca dan
belajar sepanjang hayat dengan menjadikan perpustakaan sebagai sumber
informasi, ilmu pengetahuan, teknologi, kesenian, dan kebudayaan.
Untuk menyukseskan
hal tersebut, selayaknya pustakawan melaksanakan tugas dengan niat yang tulus
dengan termotivasi oleh firman Allah dalam
Q.S. Fus}s}ilat/41: 33 yang
terjemahannya:
Dan siapakah yang lebih baik
perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah dan mengerjakan kebajikan
dan berkata: "Sungguh, aku termasuk orang-orang muslim (yang berserah
diri)?".[4]
Dalam
Al-Qur’an terdapat ayat sebagai bukti betapa pentingnya belajar dan meraih ilmu
pengetahuan. Allah berfirman dalam Q.S. al-Isra>’/17: 36, yang terjemahannya:
Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu
yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua
itu akan diminta pertanggungjawabannya.[5]
Perintah tentang perlunya belajar di atas, tentu saja harus
dilaksanakan melalui lembaga pendidikan termasuk perpustakaan sebagai salah
satu wahana pembelajaran sepanjang hayat, demi terwujudnya cita-cita luhur
untuk meningkatkan kecerdasan kehidupan bangsa melalui budaya gemar membaca,
pengembangan dan pendayagunaan perpustakaan sebagai sumber informasi.
Untuk itu, setiap perpustakaan harus berlandaskan pada
tujuan dan fungsi pembelajaran sepanjang hayat agar kehidupan bangsa menjadi
cerdas.
B. Permasalahan:
1. Bagaimana dasar hukum pembelajaran sepanjang hayat di
Indonesia?
2. Bagaimana strategi pendidikan sepanjang hayat?
3. Bagaimana implementasi pendidikan sepanjang hayat?
II. PEMBAHASAN
A.
Dasar Hukum Pembelajaran Sepanjang Hayat di Indonesia
Konsep pendidikan
sepanjang hayat, sebenarnya sudah sejak lama dipikirkan oleh pakar pendidikan
dari zaman ke zaman. Konsep
tersebut menjadi aktual kembali terutama dengan terbitnya buku An Introduction to Life long Education, pada tahun 1970 karya Paul Lengrand,[6] yang dikembangkan lebih lanjut oleh
UNESCO.[7]
Asas pendidikan sepanjang hayat itu
merumuskan suatu asas bahwa proses pendidikan merupakan suatu proses kontinyu,
yang bermula sejak seseorang dilahirkan hingga meninggal dunia. Proses
pendidikan ini mencakup bentuk-bentuk belajar baik secara formal, maupun
informal baik yang berlangsung dalam keluarga, di sekolah, dalam
pekerjaan, maupun dalam kehidupan
masyarakat.
Di Indonesia sendiri, konsepsi pendidikan sepanjang hayat
baru mulai di masyarakatkan melalui kebijaksanaan negara (TAP MPR No. IV/MPR/1973 jo. TAP No.
IV/MPR/1978 tentang GBHN) yang menetapkan prinsip-prinsip pembangunan nasional:
1. Pembangunan nasional
dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan
pembangunan seluruh rakyat Indonesia (arah pembangunan jangka panjang).
2. Pendidikan berlangsung sepanjang hayat dan
dilaksanakan di dalam keluarga (rumah tangga), sekolah, dan masyarakat. Oleh karena itu, pendidikan merupakan tanggung jawab bersama
antara keluarga, masyarakat, dan pemerintah.[8]
Beranjak dari ketentuan mendasar tersebut maka dalam kebijaksanaanya
Pemerintah menetapkan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1.
Pembangunan bangsa dan watak bangsa
dimulai dengan membangun manusia Indonesia seutuhnya sebagai perwujudan manusia
Pancasila. Hal ini dijadikan cita-cita pembangunan bangsa dan watak bangsa yang
menjadi tanggung jawab semua warga negara untuk mewujudkannya
2.
Pembangunan manusia Indonesia, secara
khusus merupakan tanggung jawab lembaga dan usaha pendidikan nasional untuk
mewujudkannya melalui institusi-institusi pendidikan.
Berkembangnya potensi peserta
didik merupakan konsepsi dasar tujuan pendidikan nasional, seperti yang
dirumuskan di dalam UU RI No. 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003 Pasal 3 sebagai berikut:
Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[9]
Adapun tujuan untuk pendidikan
sepanjang hayat ialah sebagai berikut:
1.
Mengembangkan potensi kepribadian
manusia sesuai dengan kodrat dan hakikatnya, yakni seluruh aspek pembawaannya
seoptimal mungkin. Dengan demikian, secara potensial keseluruhan potensi
manusia diisi sesuai kebutuhannya agar dapat berkembang secara wajar.
2.
Dengan mengingat proses pertumbuhan dan
perkembangan kepribadian manu-sia bersifat hidup dan dinamis maka pendidikan
wajar berlangsung selama manusia hidup.[10]
Di dalam UU RI Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, ditegaskan tentang pendidikan
sepanjang hayat pada pasal 13 ayat (1) yang berbunyi: “Jalur pendidikan terdiri
atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi
dan memperkaya”.[11] Pada bagian
pendidikan informal pada UU RI Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional dijelaskan bahwa kegiatan pendidikan informal dilakukan oleh keluarga
dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.
Dasar pendidikan sepanjang hayat
bertitik tolak atas keyakinan bahwa proses pendidikan dapat berlangsung selama
manusia hidup, melalui pendidikan formal, nonformal, dan informal baik di
dalam, maupun di luar sekolah.
Membangun manusia pembelajar
sepanjang hayat mungkin merupakan pekerjaan pendidikan yang paling khas. Di
dalamnya terkandung perbuatan mengajar, mendidik, melatih, memberikan contoh,
membangun keteladanan, bahkan mungkin memandu atau menggurui diri sendiri.
Aneka perbuatan ini bukan terutama dimaksudkan agar individu atau kelompok
mengetahui apa yang diajarkan, dilatihkan, dipandukan, dan sebagainya.
Melainkan bagaimana mereka menjadi sadar akan makna belajar, dapat belajar
untuk belajar, dan lebih penting lagi, dengan aneka stimulan itu dia menjadi
manusia pembelajar secara mandiri.
Manusia pembelajar adalah
orang-orang yang menjadikan kegiatan belajar, sebagai bagian dari kehidupan dan
kebutuhan hidupnya. Manusia pembelajar belajar banyak hal, misalnya dari
pengalaman keberhasilan atau kegagalan orang lain, pengalaman diri sendiri yang
bersifat sukses atau yang bersifat gagal, dari buku-buku, jurnal, majalah,
koran, hasil-hasil penelitian, hasil observasi, hingga yang bersifat spontan.
Enam pilar utama yang mutlak ada untuk menjadi manusia pembelajar sepanjang
hayat, yaitu:
Pertama, Rasa ingin
tahu. Inilah merupakan awal mula dari seseorang untuk menjadi manusia
berpengetahuan. Manusia yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi adalah
pembelajar sejati.
Kedua, Optimisme. Inilah modal dasar orang untuk tidak mudah
menyerah dengan aneka keadaan. Adakalanya, bahkan mungkin banyak terjadi karena
pesimistis, orang tiba-tiba menghentikan usaha atau perjuangannya ketika
sesungguhnya keberhasilan itu sudah amat dekat untuk dicapai.
Ketiga, Keikhlasan. Orang-orang yang
ikhlas nyaris tidak mengenal lelah. Dia selalu bergairah pada setiap keadaan.
Banyak siasat, strategi atau akal baru yang dihasilkannya ketika dia berpikir
dan memutuskan untuk berbuat. Muncul juga “energy kedua” (second win) dari
dirinya, ketika dia sudah mulai merasa kelelahan tatkala masih diperlukan waktu
cukup panjang dan energi cukup besar untuk menyelesaikan tugas pekerjaan.
Sebaliknya, orang-orang yang tidak ikhlas, akan mencari argumen untuk
mengelitimasi argumen “tidak mungkin” yang diucapkannya. Otot-ototnya pun
kendor semua karena otaknya mengintruksikan, seperti itu.
Keempat, Konsistensi. Begitu banyak orang
bekerja dalam format “keras kerak, yang tersiram air sedikit saja menjadi
lembek”, “tergoda dengan hal baru lalu meninggalkan keputusan yang telah dibuat
dan tengah dicoba dijalankan” dan sebagainya. Contoh dalam kehidupan
sehari-hari, ada petani yang ketika
banyak orang menanam karet ikut pula menanam, ketika banyak orang menanam
kelapa sawit ikut pula menanam kelapa sawit dengan memangkas karet yang baru
tumbuh, ketika banyak orang menanam cokelat ikut pula menanam cokelat dengan
memangkas kelapa sawit yang baru berumur beberapa tahun. Keinginannya mengikuti
arus orang lain, padahal lahan yang dimiliki hanya sebatas itu.
Kelima, Pandangan visioner. Pandangan
jauh ke depan, melebihi batas-batas pemikiran orang kebanyakan. Mereka yang
termasuk kelompok ini jarang sekali tergoda untuk melakukan apa saja demi hasil
yang instan, mengejar target jangka pendek dengan mengorbankan kepentingan
jangka panjang.
Keenam, Tuntutan pekerjaan. Pekerjaan
jenis tertentu menuntut pelakunya terus belajar dan berlatih mengikuti
perkembangan ilmu pengetahuan teknologi agar tidak ketinggalan zaman.
Orang-orang yang bekerja dengan menggunakan perangkat lunak atau program yang
sangat cepat pemutakhirannya, akan ketinggalan jika dalam waktu yang cukup lama
tidak mengikuti perkembangan.[12]
Belajar seumur hidup atau belajar
sepanjang hayat atau pendidikan sepanjang hayat merupakan aktivitas
pembelajaran yang dilakukan oleh individu atau kelompok secara “seumur hidup”,
“sukarela”, dan “memotivasi diri” untuk terus menerus mengikuti kemajuan ilmu
pengetahuan, teknologi dan seni baik untuk alasan pribadi, maupun profesional.
Karena itu, pendidikan sepanjang hayat tidak hanya meningkatkan inklusi sosial,
kewarganegaraan aktif dan pengembangan pribadi, melainkan juga daya saing dan kinerja.
Pemikiran ini bermakna adanya
pengakuan bahwa belajar tidak hanya terbatas pada masa kanak-kanak atau di
ruang-ruang kelas sekolah formal, melainkan berlangsung sepanjang hidup dan
dalam berbagai situasi. Puluhan bahkan ratusan tahun terakhir, inovasi ilmiah
dan perkembangan teknologi yang konstan telah berpengaruh besar pada kebutuhan
dan gaya belajar individu atau kelompok. Belajar tidak lagi dapat dibagi ke
dalam tempat dan waktu untuk memperoleh pengetahuan (sekolah), untuk menerapkan
pengetahuan mengakuisisi (tempat kerja). Sebaliknya, pembelajaran dapat dilihat
sebagai sesuatu yang terjadi secara terus-menerus dari interaksi sehari-hari
dengan orang lain dan dengan dunia di sekitarnya.
B. Strategi
Pendidikan Sepanjang Hayat
Dari beberapa
uraian yang dikemukakan terdahulu, tampaknya penerapan cara berpikir menurut
asas pendidikan sepanjang hayat akan mengubah pandangan setiap individu tentang
status dan fungsi sekolah, tugas utama pendidikan sekolah adalah mengajar
peserta didik cara belajar, peranan guru adalah sebagai motivator, stimulator,
dan petunjuk jalan peserta didik dalam hal belajar, sekolah sebagai pusat
kegiatan belajar (learning centre) bagi masyarakat sekitarnya. Dalam
pandangan mengenai pendidikan sepanjang hayat, semua orang secara potensial
merupakan peserta didik.
Pendidikan
sepanjang hayat yang merupakan asas pendidikan dewasa ini, terus diamati baik
di negara-negara maju, maupun negara yang sedang berkembang. Dalam konteks ini,
diperlukan adanya strategi dalam penerapan pendidikan sepanjang hayat sehingga
pendidikan bagi manusia dapat diartikan secara tepat dan benar.
Strategi dalam
rangka pendidikan sepanjang hayat sebagaimana dijabarkan Soelaiman Joesoef
meliputi hal-hal sebagai berikut.[13]
1.
Konsep-konsep Kunci Pendidikan Sepanjang Hayat
Pada pendidikan sepanjang hayat dikenal adanya empat macam konsep kunci
berikut.
a. Konsep pendidikan sepanjang hayat
itu sendiri
Sebagai suatu
konsep, pendidikan sepanjang hayat diartikan sebagai tujuan atau ide formal
untuk pengorganisasian dan penstrukturan pengalaman-pengalaman pendidikan.
Hal ini berarti
pendidikan akan meliputi seluruh rentangan usia dari usia yang paling muda
sampai paling tua, adanya basis institusi yang amat berbada dengan basis yang
mendasari persekolahan konvensional.
b. Konsep Belajar Sepanjang Hayat
Pendidikan
sepanjang hayat berarti peserta didik belajar karena respon terhadap keinginan
yang didasari untuk belajar dan angan-angan pendidikan menyediakan
kondisi-kondisi yang membantu belajar.
Jadi, istilah
belajar ini merupakan kegiatan yang dikelola walaupun tanpa organisasi sekolah
dan kegiatan ini justru mengarah pada penyelenggaraan asas pendidikan sepanjang
hayat.
c. Konsep Metode Belajar Sepanjang
Hayat
Metode belajar
sepanjang hayat adalah orang-orang yang sadar tentang diri mereka sebagai
pelajar sepanjang hayat, melihat belajar sebagai cara yang logis untuk
mengatasi problema dan sangat terdorong untuk belajar di seluruh tingkat usia
serta menerima tantangan dan perubahan sepanjang hayat sebagai pemberi kesempatan
untuk belajar berkelanjutan.
Dalam keadaan
demikian, perlu adanya sistem pendidikan yang bertujuan membantu perkembangan
orang-orang secara sadar dan sistematik merespons untuk beradaptasi dengan
lingkungan mereka sepanjang hayat (peserta didik dan belajar sepanjang hayat).
d. Kurikulum yang Membantu Pendidikan
Sepanjang Hayat
Dalam konteks ini,
kurikulum didesain atas dasar prinsip pendidikan sepanjang hayat betul-betul
telah menghasilkan pembelajar sepanjang hayat yang secara berurutan melaksanakan
belajar sepanjang hayat.
Kurikulum yang
demikian merupakan kurikulum praktis untuk mencapai tujuan pendidikan dan
mengimplementasikan prinsip-prinsip pendidikan seumur hidup.
2. Arah Pendidikan Sepanjang Hayat
Umumnya pendidikan sepanjang hayat diarahkan pada orang-orang dewasa dan
anak-anak dalam rangka penambahan pengetahuan dan keterampilan mereka yang
sangat dibutuhkan di dalam hidupnya.
C. Implementasi
Pendidikan Sepanjang Hayat
Pendidikan
merupakan perilaku manusia normal dan pembelajaran menjadi intinya. Istilah
”pendidikan” dengan istilah ”belajar” sering dikacaukan sehingga muncullah kata
belajar sepanjang hayat (life long learning) atau pendidikan sepanjang
hayat (life long education), yang dikenal juga dengan sebutan pendidikan
seumur hidup. Istilah ”pendidikan” dimaknai sebagai proses pembentukan manusia
seutuhnya, sedangkan belajar dimaknai sebagai proses perubahan perilaku sebagai
hasil dari perbuatan belajar itu.[14]
Pendidikan
diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan siswa atau
peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Sesungguhnya, pembelajaran
secara umum juga bermakna proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik
dengan pengembangan kognitif dan emosional untuk memperoleh, meningkatkan, atau
mengubah pengetahuan, keterampilan, nilai, serta pandangan mereka tentang dunia
dan lingkungannya. Pendidikan dan belajar itu sendiri, sebagai suatu proses
berfokus pada apa yang terjadi ketika aktivitas itu berlangsung.
Pendidikan
sepanjang hayat menggunakan pilar utama belajar sendiri yang dapat
direalisasikan dalam perpustakaan. Belajar mandiri atau sering disebut belajar
berbasis arah-diri (self-directed learning) berfokus pada proses,
individu atau kelompok mengendalikan pembelajaran mereka sendiri, khususnya
menetapkan tujuan belajar, menemukan sumber daya yang tepat, menentukan metode
pembelajaran yang digunakan dan mengevaluasi kemampuan belajar mereka sendiri.
Bagi orang dewasa, aktivitas belajar mandiri dapat dilakukan dengan menggunakan
jaringan sosial dan dukungan kelompok sebaya.
Dalam
kerangka ini, pembelajar harus mengembangkan refleksi kritis, suatu metode yang
telah lama diakui sebagai bentuk dan proses pembelajaran khas orang dewasa.
Sebagai refleksi kritis ide-ide dalam belajar berfokus pada tiga proses yang
saling terkait;
1.
Proses orang dewasa merumuskan pertanyaan dan kemudian
mengembangkan kerangka asumsi sesuai dengan kearifan akalnya;
2.
Proses orang dewasa membuat perspektif alternatif atas
ide-ide, tindakan, bentuk-bentuk pemikiran, dan ideologi; dan
3.
Proses orang dewasa mampu mengenali dan mengaplikasikan
aspek-aspek substantif yang dipelajari secara representatif. Dari sisi pandang
psikologi dan pendidikan, refleksi kritis terkait dengan karakteristik tertentu
dari kepribadian individu.[15]
Pendidikan
atau belajar sepanjang hayat pun sangat mementingkan pengalaman dan belajar
dari pengalaman itu sendiri. Pengalaman adalah buku yang hidup bagi pembelajar
dewasa. Bagi orang dewasa atau peserta didik dewasa, pengalaman itu merupakan
sebuah proses yang bersinambungan atas dasar evaluasi dari apa yang dialami.
Penekanan ”pengalaman” sebagai sisi terpenting dari belajar untuk menggambarkan
praktik pendidikan orang dewasa dalam masyarakat yang heterogen. Bagi
peserta didik dewasa, pengalaman menjadi sumber yang berharga. Mungkin seorang
peserta didik pernah mengidentifikasi dan menemukan cara belajar terbaik untuk
bidang ilmu tertentu dan pada waktu yang tertentu pula. Cara terbaik itu adalah
pengalaman yang berharga baginya untuk ”belajar bagaimana belajar” lebih
lanjut.
Untuk bisa
menjadi pembelajar sepanjang hayat, individu atau kelompok harus mampu belajar
untuk belajar. Kemampuan individu atau kelompok untuk mengetahui ”belajar
bagaimana belajar” atau ”belajar menjadi terampil belajar” dalam berbagai
situasi dan gaya yang berbeda, merupakan esensi dari belajar sepanjang hayat
ini.
Konsepsi
”belajar cara belajar” atau ”belajar bagaimana belajar” adalah setiap upaya
individu atau kelompok untuk mengembangkan wawasan tentang cara dan kebiasaan
belajar mereka sendiri dengan cara mereka sendiri, meski tidak selalu bermakna
dalam kesendirian. Belajar cara belajar melibatkan kesadaran epistemologis,
lebih dari sekadar mengetahui satu nilai pengembangan kognitif atau salah satu
pola pilihan belajar. Dalam konteks ini individu atau kelompok memiliki
kesadaran sendiri tentang bagaimana mereka mengetahui apa yang mereka ketahui,
apa alasan, asumsi, bukti, dan justifikasi yang mendasari keyakinan bahwa
sesuatu itu benar.[16]
Pendidikan
atau pembelajaran sepanjang hayat menawarkan konsep bagaimana orang belajar,
menjadi kreatif, memiliki efektivitas diri tingkat tinggi, dapat menerapkan
kompetensi dalam situasi kehidupan dan dapat bekerja secara baik dengan orang
lain. Kesemuanya itu dilakukan atas dasar kesadaran sendiri, tanpa ikatan
formal atau struktural apa pun. Konsepsi ini menempatkan pembelajar benar-benar
bertanggung jawab atas apa yang mereka pelajari dan kapan mereka belajar, serta
bagaimana mereka sadar untuk menjadi pembelajar sejati. Pembelajar menyediakan
kerangka kerja bagi pembelajaran pribadinya secara bertanggung jawab untuk
lebih maju.
Implikasi
dalam konsep ini diartikan sebagai akibat langsung atau konsekuensi dari suatu
keputusan. Maksudnya adalah sesuatu yang merupakan tindak lanjut (follow up)
suatu kebijakan atau keputusan tentang pelaksanaan pendidikan sepanjang hayat.
Dunia ini
menyediakan ruang belajar bagi siapa pun tanpa diskriminasi dalam bentuk apa
pun. Meski begitu, belajar sepanjang hayat tetap berlangsung pada konteks (life
long learning contexts) karena belajar dan mempelajari apa pun juga terus
berlangsung pada konteksnya, tidak pada ruang yang hampa. Inilah yang disebut
sebagai konteks belajar seumur hidup.
Meskipun
istilah ”belajar sepanjang hayat” banyak digunakan dalam berbagai konteks
”artinya” sering tidak jelas. Mana belajar dalam makna ”belajar biasa” dan mana
pula belajar dalam makna ”belajar sepanjang hayat” karena esensi belajar adalah
sama, hanya sifatnya saja yang berbeda. Pada sisi lain, konteks belajar
sepanjang hayat itu sendiri kadang-kadang mengalami bias istilah, seperti
istilah home schooling yang jika diterjemahkan secara serta-merta
berarti ”persekolahan rumah”, padahal kata schooling dalam keseharian
hampir selalu diberi makna persekolahan atau sekolah formal.
Ada
beberapa konteks yang dibangun dalam kerangka belajar sepanjang hayat di luar
konsep ”belajar tradisional” pada ruang kelas atau ruang kuliah. Beberapa
konteks tersebut:
1.
Pendidikan di rumah (home schooling), mencakup
belajar untuk belajar atau mengembangkan pola pembelajaran informal.
2.
Pendidikan orang dewasa (adult education) atau
akuisisi kualifikasi formal atau belajar di luar struktur persekolahan, bahkan
mungkin sambil rekreasi.
3.
Pendidikan berkelanjutan (continuing education),
yang sering menjelaskan program pendidikan atau pelatihan berkelanjutan ketika
telah menekuni profesi atau menyelesaikan jenjang pendidikan tententu di
perguruan tinggi.
4.
Pengetahuan pekerjaan (knowledge work) yang
meliputi pengembangan profesional dan pelatihan di dalam pekerjaan.
5.
Lingkungan belajar pribadi (personal learning
environments) atau pembelajaran yang
”diarahkan” secara mandiri dengan menggunakan berbagai sumber dan
alat-alat, termasuk aplikasi online.[17]
Peserta
didik yang berhasil istimewa di sekolah-sekolah formal umumnya terdiri dari
mereka yang lebih sadar akan proses belajarnya dan menunjukkan cara mereka
mengatur proses untuk belajar lebih efektif sepanjang hidupnya. Belajar
sepanjang hayat, seperti dijelaskan sebelumnya biasanya bermodalkan
kesukarelaan dan motivasi diri dalam kerangka belajar untuk belajar, yaitu
mengenali strategi pembelajaran, memonitor, dan mengevaluasi pembelajaran. Hal
ini merupakan prakondisi untuk belajar sepanjang hayat.
Belajar
sepanjang hayat kadang-kadang bertujuan untuk menyediakan kesempatan pendidikan
di luar standar sistem pendidikan yang berbiaya mahal. Di dunia kerja, belajar
sepanjang hayat ini menjadi keharusan dalam rangka menyesuaikan diri dengan
persyaratan profesional yang dibutuhkan, bahkan di beberapa universitas dibuat
aneka jenis profesi yang ”wajib” melakukan pembelajaran sepanjang hayat,
seperti mentor, pelatih, penilai, konsultan, manajemen proyek, desainer
kurikulum, dan penasehat.
Penerapan
asas pendidikan sepanjang hayat pada isi program pendidikan dan sasaran pendidikan
di masyarakat mengandung kemungkinan yang luas dan bervariasi. Implikasi
pendidikan sepanjang hayat pada program pendidikan, sebagaimana dikemukakan
oleh Ananda W.P. Guruge dalam bukunya Toward Better Educational Management,
dapat dikelompokkan menjadi beberapa kategori berikut.[18]
1. Pendidikan Baca Tulis Fungsional
Program ini
tidak saja penting bagi pendidikan sepanjang hayat karena relevansinya dengan
kondisi yang ada pada negara-negara berkembang dengan alasan masih banyaknya
penduduk buta huruf, melainkan juga sangat penting ditinjau dari
implementasinya. Bahkan, di negara yang sudah maju sekalipun radio, film, tv,
dan komputer sampai internet telah menantang ketergantungan orang akan
bahan-bahan bacaan, namun membaca masih merupakan cara yang paling murah,
praktis untuk mendapatkan dan menyebarkan pengetahuan.
Sulit untuk
membuktikan peranan melek huruf fungsional terhadap pembangunan sosial ekonomi
masyarakat, namun pengaruh IPTEK terhadap kehidupan masyarakat misalnya petani,
justru disebabkan oleh pengetahuan-pengetahuan baru dalam diri mereka.
Pengetahuan baru ini dapat diperoleh melalui bahan bacaan.
Realisasi
baca tulis fungsional, minimal memuat dua hal, yaitu
a. Memberikan kecakapan membaca, menulis, menghitung (3M)
yang fungsional bagi peserta didik.
b. Menyediakan bahan-bahan bacaan yang diperlukan untuk
mengembangkan lebih lanjut kecakapan yang telah dimilikinya tersebut.[19]
2.
Pendidikan Vokasional
Pendidikan
vokasional sebagai program pendidikan di luar sekolah bagi anak di luar batas
usia sekolah, atau sebagai program pendidikan formal dan non formal dalam
rangka apprentice ship training, merupakan salah satu program penting
dalam rangka pendidikan sepanjang hayat.
Pada
kebanyakan negara berkembang yang sistem pendidikan formalnya umumnya diambil
dari negara Barat, output pendidikan sekolah pada umumnya dirasakan
kurang sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang sedang membangun. Oleh sebab
itu, program pendidikan bersifat remedial agar para lulusan sekolah tersebut
menjadi tenaga kerja yang produktif menjadi sangat penting, namun yang lebih
penting ialah bahwa pendidikan vokasional ini tidak boleh dipandang sekali jadi
lantas selesai.
Berkembang
dan majunya ilmu pengetahuan dan teknologi serta semakin meluasnya
industrialisasi, menuntut pendidikan vokasional itu tetap dilaksanakan secara
kontinyu.
3. Pendidikan Profesional
Sebagai realisasi pendidikan sepanjang hayat, dalam
tiap-tiap profesi hendaknya telah tercipta built in mechanism yang
memungkinkan golongan profesional terus mengikuti berbagai kemajuan dan
perubahan menyangkut metodologi, perlengkapan, terminologi, dan sikap
profesionalnya.
4.
Pendidikan ke Arah Perubahan dan Pembangunan
Diakui
bahwa era globalisasi dan informasi yang ditandai dengan pesatnya perkembangan
IPTEK telah mempengaruhi berbagai dimensi kehidupan masyarakat, dari cara
memasak yang serba menggunakan mekanik dan elektronik, sampai dengan cara
menerobos angkasa luar. Kenyataan ini tentu saja konsekuensinya menuntut
pendidikan yang berlangsung secara kontinyu (life long education).[20]
Pendidikan
bagi anggota masyarakat dari berbagai golongan usia agar mereka mampu mengikuti
perubahan sosial dan pembangunan juga merupakan konsekuensi penting dari asas
pendidikan sepanjang hayat.
5.
Pendidikan Kewarganegaraan dan Kedewasaan Politik
Di samping tuntutan penguasaan ilmu pengetahuan dan
teknologi, dalam kondisi sekarang, pola pikir masyarakat semakin maju dan
kritis, baik rakyat biasa, maupun
pemimpin pemerintahan di negara yang demokratis, diperlukan pendidikan
kewarganegaraan dan kedewasaan politik bagi setiap warga negara. Pendidikan
sepanjang hayat yang bersifat kontinyu dalam konteks ini merupakan
konsekuensinya.
6.
Pendidikan Kultural dan Pengisian Waktu Senggang
Spesialisasi
yang berlebih-lebihan dalam masyarakat, bahkan dimulai pada usia muda dalam
program pendidikan formal di sekolah, membuat manusia berpandangan sempit pada
bidangnya sendiri, buta akan nilai-nilai kultural yang terkandung dalam warisan
budaya masyarakat sendiri.
Bagi
orang-orang terpelajar diharapkan mampu memahami dan menghargai nilai-nilai
agama, sejarah, kesusastraan, filsafat hidup, seni, dan musik bangsanya
sendiri. Pengetahuan tersebut dapat memperkaya hidupnya, terutama segi
pengalaman yang memungkinkannya untuk mengisi waktu senggangnya dengan
menyenangkan. Oleh karena itu, pendidikan kultural dan pengisian waktu senggang
secara konstruktif merupakan bagian penting dari life long education.
Sementara
itu, implikasi konsep life long education ini pada sasaran pendidikan,
juga diklasifikasi dalam enam kategori yang meliputi:
1.
Para buruh dan petani;
2.
Golongan remaja yang terganggu pendidikan sekolahnya;
3.
Para pekerja yang berketerampilan;
4.
Golongan teknisi dan profesional;
5.
Para pemimpin dalam masyarakat;
6.
Golongan masyarakat yang sudah tua.[21]
Hal yang
dikemukakan di atas barangkali hanyalah sebagian kecil dari implikasi konsep
pendidikan sepanjang hayat pada program-program dan sasaran pendidikan sebab
kondisi sekarang kebutuhan dan tekanan baru justru lebih kompleks. Gelombang
perubahan politik, sosial, dan ilmu pengetahuan merambah hampir semua aspek
kehidupan masyarakat. Pendidikan sepanjang hayat menekankan kerja sama antara
keluarga dan sekolah dalam menciptakan pengalaman pendidikan bersama. Para
pendukung pendidikan sepanjang hayat menerima individualitas kebudayaan
keluarga dan menempatkannya sebagai salah satu agen pendidikan dalam
masyarakat.
Berdasarkan
uraian di atas maka penerapan cara berpikir menurut asas pendidikan sepanjang
hayat itu akan mengubah pandangan setiap individu tentang status dan fungsi
sekolah, tugas utama pendidikan sekolah adalah mengajar peserta didik tentang
cara belajar; peranan guru terutama adalah sebagai motivator, stimulator, dan
petunjuk jalan peserta didik dalam hal belajar; sekolah sebagai kegiatan
belajar; dan perpustakaan sebagai pusat pembelajaran sepanjang hayat yang
menjadikan semua orang secara potensial merupakan peserta didik.
Tokoh-tokoh
penganjur life long education mengembangkan sejumlah argumentasi yang
berbeda. Dikemukakan bahwa pendidikan sepanjang hayat akan meningkatkan
persamaan distribusi pelayanan pendidikan, memiliki implikasi ekonomi yang
menyenangkan, alternatif dalam menghadapi struktur sosial yang cenderung selalu
berubah, mengantarkan pada peningkatan kualitas hidup dan sebagainya.
Berikut ini
akan dikemukakan beberapa hal perlunya pendidikan sepanjang hayat tersebut.
1)
Pertimbangan ekonomi
Dengan
terus berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, dunia pendidikan pun terus
berkembang. Akibat perkembangan ini adalah semakin berkompetisinya
lembaga-lembaga pendidikan terutama dalam hal kualitas. Dengan hal ini pada
gilirannya terjadilah semacam klasifikasi atau penggolongan sekolah sebagai lembaga
pendidikan, ada sekolah favorit, unggulan, plus, dan sebagainya. Kenyataan ini
tentu saja membawa dampak dengan semakin mahalnya biaya pendidikan.
Untuk saat
ini, biaya pendidikan tampaknya sudah mendekati titik puncak, masyarakat
diragukan kemampuannya membiayai pendidikan lebih jauh. Untuk negara-negara
yang sedang berkembang permasalahan ini sudah sampai pada tahap yang
memprihatinkan.
Para tokoh
pendidikan sepanjang hayat melihat bahwa pembentukan sistem pendidikan
berfungsi sebagai basis untuk memperoleh keterampilan tipe baru yang secara
ekonomis berharga dan menguntungkan masyarakat. Tidak berarti mereka menekankan
bahwa pendidikan sepanjang hayat akan dapat meningkatkan produktivitas pekerja
dan akan meningkatkan keuntungan, tetapi hal yang lebih penting adalah untuk
meningkatkan kualitas hidup, memperbesar pemenuhan kebutuhan hidup, melepaskan
dari kebodohan, kemiskinan, dan eksploitasi.
Pengakuan
adanya hubungan antara pendidikan dan pertumbuhan ekonomi, serta kemajuan
personal dan kehidupan sosial yang berurutan, akan melengkapi argumentasi
ekonomi lebih jauh untuk mengadakan perubahan radikal sistem pendidikan. Dengan
adanya pendidikan, pertumbuhan ekonomi, dan peningkatan kualitas hidup
mempunyai hubungan yang sangat erat.
2)
Keadilan
Tuntutan
akan adanya persamaan serta kesempatan yang sama dalam memperoleh pendidikan
terus digaungkan, bahkan untuk Indonesia diatur sedemikian rupa di dalam UUD
1945, seperti tertuang pada pasal 31 ayat (1): ”Tiap-tiap warga negara berhak
mendapat pengajaran”.[22]
Upaya-upaya
untuk menuruti keinginan tersebut memang senantiasa dilakukan karena pada
negara-negara yang sedang berkembang umumnya, pendidikan yang dikembangkan
merupakan warisan pemerintah kolonial yang tentu saja membatasi perkembangan
nasional dalam kesamaan hak untuk mendapat pendidikan.
Keinginan
untuk memperoleh kesempatan pendidikan tersebut, banyak pengamat berpendapat
bahwa sekolah yang ada sekarang pada pokoknya berjalan untuk mempertahankan status
quo, peserta didik untuk menyesuaikan diri dengan posisi sosial tertentu
dan untuk melestarikan tatanan yang sudah ada. Tampaknya pengetahuan yang
diberikan di sekolah tradisional tidak ubahnya, seperti menyampaikan komoditas
kepada konsumen dan ketidaksamaan dipertahankan oleh pengaruh kontrol pendirian
pendidikan yang ingin menyampaikan pengetahuan dengan cara yang cepat. Konteks
ini berbeda dengan pendidikan sepanjang hayat yang pada prinsipnya bertujuan
untuk mengeliminasi peranan sekolah sebagai alat untuk melestarikan
ketidakadilan, seperti di atas.
3)
Faktor peranan keluarga
Satu hal
yang tidak bisa dipungkiri bahwa dalam kondisi, seperti sekarang ini di
berbagai sektor kehidupan telah terjadi pergeseran atau perubahan, termasuk
dalam hal ini keluarga dengan segala peranannya. Menurut Coleman, keluarga berfungsi
sebagai sentral sumber pendidikan pada waktu yang silam. Lebih lanjut Coleman
mengemukakan bahwa situasi ini sekarang telah berubah sehingga keluarga sedikit
demi sedikit berkurang peranannya dalam mendidik anak-anak. Ini dapat dilihat
dalam bidang moral, afektif, dan pendidikan sosial.[23]
Pendidikan
sepanjang hayat melalui perpustakaan dapat melengkapi kerangka dasar pendidikan
yang memungkinkan mengambil alih tugas yang dulunya ditangani keluarga. Dalam
masalah ini harus diperhatikan bahwa penekanan peranan pendidikan seumur hidup
sebagai pembantu keluarga, berarti akan memperluas sistem pendidikan agar dapat
menjangkau anak-anak awal dan orang dewasa. Dengan harapan, pengakuan
pentingnya pendidikan moral dan sosial, serta desakan terhadap sekolah untuk
melakukan peranan pendidikan yang dilakukan keluarga, akan memperkuat dan
menghidupkan kembali pengaruh rumah dalam proses interaksi antar beberapa
faktor yang berpengaruh terhadap anak.
4)
Faktor perubahan peranan sosial
Antara
keluarga dengan keadaan sosial di luarnya mempunyai hubungan yang sangat erat,
tetapi perubahan yang terjadi dan dialami keduanya cukup berbeda. Garis antara
orang dewasa dengan anak-anak secara tradisional sangat jelas dalam keluarga
masyarakat yang tidak maju. Perkembangan yang kompleks dalam hal penggunaan
teknologi di masyarakat yang maju, menyebabkan pentingnya perluasan konsep
pendidikan anak.
Anak-anak
secara tradisional harus disekolahkan, sedangkan orang dewasa tidak demikian,
namun untuk kondisi sekarang sulit memisahkan kenyataan, seperti itu, misalnya
seorang pemuda berumur 18 tahun barangkali sudah kawin dan bekerja, sedangkan
orang dewasa berumur 30 tahun masih berstudi. Dasar ini, tentu saja diperlukan
perluasan konsep pendidikan dan perluasan rentangan usia yang ditampung dalam
pendidikan.[24]
Masih
banyak persoalan sosial lainnya yang membawa pada perubahan-perubahan, dalam
hal ini pendidikan harus berisi elemen penting yang kuat dan memainkan peranan
sosial yang amat beragam untuk mempermudah individu melakukan penyesuaian
terhadap perubahan hubungan antara mereka dengan orang lain.
5)
Perubahan teknologi
Pada
prinsipnya, teknologi berhubungan erat dengan faktor-faktor di atas sebab
bagaimanapun terjadinya perubahan peranan baik keluarga, maupun keadaan sosial
di luarnya, salah satu penyebab utamanya adalah perkembangan teknologi yang
berlangsung dengan cepat.
Pertumbuhan
teknologi menyebabkan meningkatnya persediaan informasi, mengubah sifat-sifat
pekerjaan, meningkatnya urbanisasi, keberhasilan bidang kesehatan yang
berakibat meningkatnya usia harapan hidup dan menurunnya angka kematian,
semakin banyak tersedia kekayaan materi yang berakibat keduniaan dan
materialisme menjiwai nilai-nilai budaya dan spiritual, serta berakibat pula
kerengganan dan keterasingan manusia yang satu dengan yang lainnya.
Kenyataan
tersebut akan menimbulkan ketidakpastian keterampilan yang diperlukan dunia
mendatang dan juga berakibat lunturnya kekeluargaan, ketidakpas-tian peranan
sosial dan hubungan interpersonal di masa depan. Akibatnya, basis
keorganisasiaan baru di bidang pendidikan menjadi sangat penting dan
diperlukan.
6)
Faktor-faktor vocational
Persoalan
ini dimuculkan sekarang karena dinyatakan bahwa kejuruan yang diperlukan dunia
di masa mendatang secara drastis berbeda dengan apa yang ada sekarang. Dalam
hal ini, kemampuan sistem pendidikan, seperti yang ada sekarang untuk membekali
anak dengan keterampilan khusus yang diperlukan untuk keberhasilan di masa
mendatang tampaknya masih diragukan.
Ada
beberapa alasan yang menyatakan bahwa salah satu unsur kejuruan di masa
mendatang akan mengalami perubahan, yakni keterampilan kejuruan yang cepat laku
dan terjadinya perubahan tidak hanya pada generasi mendatang, tetapi juga
terjadi pada generasi yang ada sekarang. Artinya, para pekerja di masa
mendatang perlu meninggalkan keterampilan yang sudah lama dimilikinya dan
menggantikannya dengan yang baru dan barangkali tidak hanya sekali pergantian,
tetapi mungkin berulangkali.
Peserta
didik perlu diberikan kemampuan untuk bereaksi secara positif terhadap
perubahan baik dari segi meneruskan kemampuan yang secara kejuruan berguna bagi
masyarakat, maupun kemampuan untuk mempertahankan identitas mereka dalam
menghadapi jenis pekerjaan yang amat berbeda dengan apa yang ada sekarang.
7)
Kebutuhan-kebutuhan orang dewasa
Sekarang
ini, orang dewasa mengalami efek cepatnya perubahan dalam bidang keterampilan
yang mereka miliki, misalnya ancaman keusangan membayangi banyak pekerja dan
hal ini tidak hanya terjadi pada pekerja-pekerja kasar, tetapi justru merambah
kepada orang yang sudah profesional.[25]
Sebagai
respon terhadap masalah ini, dibanyak negara telah dikembangkan kelas-kelas
untuk para orang dewasa. Sistem pendidikan diupayakan di organisasi sedemikian
rupa untuk membantu belajar masa dewasa di berbagai tingkatan masyarakat.
Berkenaan dengan ini tampaknya perlu dikesampingkan pandangan yang menyatakan
bahwa seseorang hanya belajar pada masa persekolahan formal antara sekitar usia
6 tahun sampai 18 tahun. Secara radikal berarti perubahan pandangan mengenai
kapan seseorang harus disekolahkan dan sekolah apa, yang dalam hal ini
memerlukan politik pendidikan sepanjang hayat.
8)
Kebutuhan anak-anak awal
Kelompok
usia anak-anak awal merupakan kelompok umur kedua di luar masa persekolahan
yang normalnya tersedia. Sebagaimana orang dewasa, akhir-akhir ini ditandai
dengan meningkatnya animo masyarakat terhadap pendidikan anak umur di bawah 6
tahun, atau yang sekarang lebih dikenal dengan Taman Kanak-Kanak, bahkan untuk
Indonesia yang disebut dengan pendidikan prasekolah diatur secara rinci di
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1990. Menurut PP tersebut, pendidikan
prasekolah bertujuan untuk membantu meletakkan dasar ke arah perkembangan
sikap, pengetahuan, keterampilan, dan daya cipta yang diperlukan oleh peserta
didik dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan untuk pertumbuhan serta
perkembangan selanjutnya.[26]
Para ahli
mengakui bahwa masa anak-anak awal merupakan fase perkembangan yang mempunyai
karakteristik tersendiri, bukan semata-mata masa penantian untuk memasuki
periode anak-anak, remaja, dan dewasa.
Pada
dasarnya anak-anak awal sudah memiliki kemampuan untuk berpikir dan mengerti
meskipun belum memadai perhatian yang diberikan terhadap kenyataan ini dalam
perencanaan pelayanan pendidikan. Di samping itu, juga perlu diperhatikan bahwa
penelitian kejiwaan sekarang telah menunjukkan pentingnya masa anak-anak awal
sebagai fase kritis pertumbuhan dalam bidang antara lain, perkembangan
intelektual, perhatian, konsentrasi, kewaspadaan, pertumbuhan kognitif dan
perkembangan sosial.
Salah
seorang ahli pendidikan, yaitu Bloom mereview beberapa studi penting dalam
bidang di atas dan menyimpulkan bahwa antara umur 2 sampai 10 tahun, anak-anak
mengembangkan kemampuan kognitif, seperti bahasa dan keterampilan yang
dipelajari dari orang dewasa serta sosio afektif, seperti kebutuhan untuk
berprestasi, perhatian, dan kebiasaan bekerja yang baik.[27]
Masa
anak-anak awal merupakan basis untuk perkembangan kejiwaan selanjutnya meskipun
dalam tingkat tertentu pengalaman-pengalaman yang datang belakangan dapat
memodifikasi perkembangan yang fondasinya sudah diletakkan oleh pengalaman
sebelumnya. Perkembangan berikutnya adalah untuk mengikuti bagian yang optimal,
anak-anak awal tidak hanya siap untuk memperoleh keuntungan dari lingkungan
yang mendidik, tetapi mereka juga membutuhkan stimulasi jenis-jenis pengalaman
yang tepat.
Terwujudnya
pendidikan sepanjang hayat merupakan kata kunci yang utama ketika pustakawan
mampu mengembangkan, mengolah, menyebarkan termasuk mempromosikan informasi
yang ada di perpustakaannya. Kerjasama unsur terkait (stakeholder) juga merupakan tantangan sekaligus harapan agar dapat
terealisasi.
III. PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Di
Indonesia, konsepsi pendidikan sepanjang hayat baru mulai di masyarakatkan
melalui kebijaksanaan negara (TAP MPR No. IV/MPR/1973
jo. TAP No. IV/MPR/1978 tentang GBHN) yang menetapkan prinsip-prinsip
pembangunan nasional. Berkembangnya potensi peserta didik merupakan konsepsi
dasar tujuan pendidikan nasional, seperti yang dirumuskan di dalam UU RI No. 20
tentang Sistem Pendidikan Nasional
Tahun 2003 Pasal 3. Dasar pendidikan sepanjang hayat bertitik tolak
atas keyakinan bahwa proses pendidikan dapat berlangsung selama manusia hidup,
melalui pendidikan formal, nonformal, dan informal baik di dalam, maupun di
luar sekolah.
2.
Strategi dalam rangka pendidikan sepanjang hayat sebagaimana
dijabarkan Soelaiman Joesoef meliputi: a. Konsep pendidikan sepanjang hayat itu
sendiri; b. Konsep Belajar Sepanjang Hayat; c. Konsep Metode Belajar Sepanjang
Hayat; d. Kurikulum yang Membantu Pendidikan Sepanjang Hayat.
3.
Implementasi Pendidikan
sepanjang hayat menggunakan pilar utama belajar sendiri yang dapat
direalisasikan dalam perpustakaan. Belajar mandiri atau sering disebut belajar
berbasis arah-diri (self-directed learning) berfokus pada proses,
individu atau kelompok mengendalikan pembelajaran mereka sendiri, khususnya
menetapkan tujuan belajar, menemukan sumber daya yang tepat, menentukan metode
pembelajaran yang digunakan dan mengevaluasi kemampuan belajar mereka sendiri.
Bagi orang dewasa, aktivitas belajar mandiri dapat dilakukan dengan menggunakan
jaringan sosial dan dukungan kelompok sebaya.
DAFTAR PUSTAKA
Bochari, Mochtar. Spektrum
Problematika Pendidikan di Indonesia. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994.
Coleman, J.S. How do the Young
Become Adult. New York: Review of Educational Research, 1972.
Danim, Sudarwan. Pengantar
Kependidikan: Landasan, teori, dan 234 Metafora Pendidikan. Bandung:
Alfabeta, 2010.
Darmaningtyas. Pendidikan pada dan
Setelah Krisis: Evaluasi Pendidikan pada Masa Krisis. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1999.
Djiwandono, Sri Esti Wuryani. Psikologi
Pendidikan. Cet. 3; Jakarta: Grasindo, 2006.
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan
Terjemahnya. Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penerjemah al-Qur’an,
2002.
------------. Himpunan
Perundang-undangan Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Dirjen Binbaga
Islam, 1991/1992.
Hasbullah. Dasar-dasar
Ilmu Pendidikan. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999.
Idris, Zahara. Dasar-Dasar Kependidikan. Bandung:
Angkasa, 1981.
Jabatan Fungsional Pustakawan dan Angka
kreditnya. Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No.
132/KEP/M.PAN/12/2002, dan Keputusan Bersama Kepala Perpustakaan Nasional RI,
dan Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara No. 23 tahun 2003, dan No. 21
Tahun 2003. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI, 2003.
James, Gibson L. Organisasi dan manajemen. Jakarta:
Erlangga, 1997.
Joesoef,
Soelaiman. Konsep Dasar Pendidikan Luar Sekolah. Jakarta: Bumi Aksara,
1992.
----------, dan
Slamet Santoso. Pendidikan Luar Sekolah. Surabaya: Usaha Nasional, 1981.
Kasnawi, M. Tahir,
dan Sulaiman Asang, Perubahan sosial, dan Pembangunan. Jakarta: Penerbit
Universitas Terbuka, 2009.
Lengrand. An Introduction to Life
Long Education. Paris: UNESCO, 1970.
Rohmat, Mulyana. Mengartikulasi Pendidikan Nilai.
Bandung: Alfabet, 2004.
Republik Indonesia. ”Keputusan Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara (KEPMENPAN) No. 136/KEP/M.PAN/12/2002 tentang Jabatan
Fungsional Pustakawan dan Angka Kreditnya” Jakarta: Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara, 2002.
----------.
Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003.
----------.
Garis-garis Besar Haluan Negara, Bab IV, Bagian Pendidikan.
----------. UUD 1945 dan Amandemennya.
Tilaar, H.A.R. Paradigma
Baru Pendidikan Nasional. Cet. 1; Jakarta: Rineka Cipta, 2000.
Tim Dosen FIP IKIP Malang. Pengantar
Dasar-dasar Kependidikan. Surabaya: Usaha Nasional, 1988.
Thoha, Miftah. Beberapa Aspek
Kebijakan Birokrasi. Yogyakarta: Media Widya Mandala, 1991.
Vembriarto, St. Kapita
Selekta Pendidikan. Yogyakarta:
Yayasan Pendidikan Paramita, 1981.
[1]Pustakawan adalah Pegawai Negeri
Sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh oleh
pejabat yang berwenang untuk melakukan kegiatan kepustakawanan pada unit-unit
perpustakaan, dokumentasi, dan informasi (perpusdokinfo) di instansi pemerintah
dan atau unit tertentu lainnya. Lihat Peraturan Kepala Perpustakaan
Nasional Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 tentang Petunjuk Teknis Jabatan
Fungsional Pustakawan dan Angka Kreditnya (Jakarta: Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia, 2008), h. 2.
[2]Perpustakaan Nasional Republik
Indonesia, Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan (Jakarta:
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, 2008), h. 1-2.
[4]Departemen
Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Yayasan
Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, 2002), h. 688.
[6]St. Vembriarto, Kapita Selekta
Pendidikan (Yogyakarta: Yayasan Pendidikan Paramita, 1981), h. 105.
[7]UNESCO
adalah singkatan dari United Nations Educationals Scientific and Cultural
Organization, suatu badan dunia dari PBB yang bergerak dalam dunia
pendidikan.
[8]Republik
Indonesia, Garis-garis Besar Haluan Negara, Bab IV, Bagian Pendidikan,
h. 37.
[9]Republik
Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, bab II, pasal 3.
[10]Tim
Dosen FIP IKIP Malang, Pengantar Dasar-dasar Kependidikan (Surabaya:
Usaha Nasional, 1988), h. 139-140.
[11]Republik
Indonesia, op. cit., h. 66.
[12]Sudarwan
Danim, Pengantar Kependidikan: Landasan, Teori, dan 234 Metafora Pendidikan
(Bandung: Alfabet, 2010), h. 241-246.
[13]Lihat
Soelaiman Joesoef, Konsep Dasar Pendidikan Luar Sekolah (Jakarta: Bumi
Aksara, 1992), h. 35-38.
[14]Suwardi
Danim, Pengantar Kependidikan: Landasan, Teorim dan 234 Metafora Pendidikan
(Cet. I; Bandung: Alfabet, 2010), h. 141.
[16]Lihat
Ibid., h. 142-143.
[18]Dikutip
oleh Soelaiman Joesoef dan Slamet Santoso, Pendidikan Luar Sekolah
(Surabaya: Usaha Nasional, 1981), h. 26-29. Lihat juga Zahara Idris, Dasar-Dasar
Kependidikan (Bandung: Angkasa, 1981), h. 61-63.
[19]Hasbullah,
Dasar-dasar Ilmu Pendidikan (Ed. Revisi; Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1999), h. 72.
[22]Republik
Indonesia, UUD 1945 dan Amandemennya, bab XIII, pasal 31.
[23]Lihat
J.S. Coleman, How Do the Young Become Adult (New York: Review of
Educational Research, 1972), h. 41.
[24]Hasbullah.,
op. cit., h. 78.
[26]Departeman
Agama Republik Indonesia, Himpunan Perundang-undangan Sistem Pendidikan
Nasional (Jakarta: Dirjen Binbaga Islam, 1991/1992), h. 48.
[27]Sri
Esti Wuryani Djiwandono, Psikologi Pendidikan (Cet. 3; Jakarta:
Grasindo, 2006), h. 72.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar