Senin, 05 Januari 2015

WAHANA PEMBELAJARAN SEPANJANG HAYAT: Suatu Telaah

Oleh:
Iskandar
(Pustakawan Madya Unhas)

ABSTRAK

Tulisan ini mencoba memberi gambaran singkat tentang arti pentingnya wahana pembelajaran sepanjang hayat. Dalam tulisan ini dipaparkan dasar hukum pembelajaran sepanjang hayat di Indonesia, strategi pendidikan sepanjang hayat, dan implementasi pendidikan sepanjang hayat.
Untuk merealisasikan wahana pembelajaran sepanjang hayat dapat dilakukan dengan mudah jika seluruh komponen ”pembelajaran” (stakeholder) mampu bekerja sama dalam satu perspektif yaitu merealisasikan satu tujuan utama pembelajaran sesuai amanat UUD 1945, mencerdaskan kehidupan bangsa.

Kata Kunci: Perpustakaan; Pembelajaran Sepanjang Hayat; Pustakawan


I. PENDAHULUAN

A. Pendahuluan
Pustakawan[1] sebagai penggerak utama dalam rangka meningkatkan kecerdasan kehidupan bangsa, dengan menumbuhkan budaya gemar membaca melalui pengembangan dan pendayagunaan perpustakaan sebagai sumber informasi yang berupa karya tulis, karya cetak, dan/atau karya rekam.[2]
Hal di atas berarti bahwa pustakawan memiliki tugas utama untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dengan bekerja secara maksimal mengembangkan dan mendayagunakan perpustakaan sebagai sarana yang berisi informasi yang mendukung keberhasilan pendidikan.
Fungsi perpustakaan dalam Undang-Undang Perpustakaan adalah sebagai:
1.    Wahana belajar sepanjang hayat, mengembangkan potensi masyarakat agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab dalam mendukung penyelenggaraan pendidikan nasional,
2.    Wahana penelitian,
3.    Wahana informasi,
4.    Wahana rekreasi untuk meningkatkan kecerdasan dan keberdayaan bangsa,
5.    Wahana pelestarian kekayaan budaya bangsa.[3]
Fungsi perpustakaan di atas untuk mendukung Sistem Pendidikan Nasional sehingga terbentuk masyarakat yang mempunyai budaya membaca dan belajar sepanjang hayat dengan menjadikan perpustakaan sebagai sumber informasi, ilmu pengetahuan, teknologi, kesenian, dan kebudayaan.
Untuk menyukseskan hal tersebut, selayaknya pustakawan melaksanakan tugas dengan niat yang tulus dengan termotivasi oleh firman Allah dalam Q.S. Fus}s}ilat/41: 33 yang terjemahannya:
Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah dan mengerjakan kebajikan dan berkata: "Sungguh, aku termasuk orang-orang muslim (yang berserah diri)?".[4]
Dalam Al-Qur’an terdapat ayat sebagai bukti betapa pentingnya belajar dan meraih ilmu pengetahuan. Allah berfirman dalam Q.S. al-Isra>’/17: 36, yang terjemahannya:
Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.[5]
Perintah tentang perlunya belajar di atas, tentu saja harus dilaksanakan melalui lembaga pendidikan termasuk perpustakaan sebagai salah satu wahana pembelajaran sepanjang hayat, demi terwujudnya cita-cita luhur untuk meningkatkan kecerdasan kehidupan bangsa melalui budaya gemar membaca, pengembangan dan pendayagunaan perpustakaan sebagai sumber informasi.
Untuk itu, setiap perpustakaan harus berlandaskan pada tujuan dan fungsi pembelajaran sepanjang hayat agar kehidupan bangsa menjadi cerdas.

B. Permasalahan:
1. Bagaimana dasar hukum pembelajaran sepanjang hayat di Indonesia?
2. Bagaimana strategi pendidikan sepanjang hayat?
3. Bagaimana implementasi pendidikan sepanjang hayat?
II. PEMBAHASAN
A. Dasar Hukum Pembelajaran Sepanjang Hayat di Indonesia
Konsep pendidikan sepanjang hayat, sebenarnya sudah sejak lama dipikirkan oleh pakar pendidikan dari zaman ke zaman. Konsep tersebut menjadi aktual kembali terutama dengan terbitnya buku An Introduction to Life long Education, pada tahun 1970 karya Paul Lengrand,[6] yang dikembangkan lebih lanjut oleh UNESCO.[7]
Asas pendidikan sepanjang hayat itu merumuskan suatu asas bahwa proses pendidikan merupakan suatu proses kontinyu, yang bermula sejak seseorang dilahirkan hingga meninggal dunia. Proses pendidikan ini mencakup bentuk-bentuk belajar baik secara formal, maupun informal baik yang berlangsung dalam keluarga, di sekolah, dalam pekerjaan,  maupun dalam kehidupan masyarakat.
Di Indonesia sendiri, konsepsi pendidikan sepanjang hayat baru mulai di masyarakatkan melalui kebijaksanaan negara (TAP MPR No. IV/MPR/1973 jo. TAP No. IV/MPR/1978 tentang GBHN) yang menetapkan prinsip-prinsip pembangunan nasional:
1. Pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh rakyat Indonesia (arah pembangunan jangka panjang).
2.  Pendidikan berlangsung sepanjang hayat dan dilaksanakan di dalam keluarga (rumah tangga), sekolah, dan masyarakat. Oleh karena itu, pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat, dan pemerintah.[8]
Beranjak dari ketentuan mendasar tersebut maka dalam kebijaksanaanya Pemerintah menetapkan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1.      Pembangunan bangsa dan watak bangsa dimulai dengan membangun manusia Indonesia seutuhnya sebagai perwujudan manusia Pancasila. Hal ini dijadikan cita-cita pembangunan bangsa dan watak bangsa yang menjadi tanggung jawab semua warga negara untuk mewujudkannya
2.      Pembangunan manusia Indonesia, secara khusus merupakan tanggung jawab lembaga dan usaha pendidikan nasional untuk mewujudkannya melalui institusi-institusi pendidikan.
Berkembangnya potensi peserta didik merupakan konsepsi dasar tujuan pendidikan nasional, seperti yang dirumuskan di dalam UU RI No. 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003 Pasal 3 sebagai berikut:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[9]
Adapun tujuan untuk pendidikan sepanjang hayat ialah sebagai berikut:
1.    Mengembangkan potensi kepribadian manusia sesuai dengan kodrat dan hakikatnya, yakni seluruh aspek pembawaannya seoptimal mungkin. Dengan demikian, secara potensial keseluruhan potensi manusia diisi sesuai kebutuhannya agar dapat berkembang secara wajar.
2.    Dengan mengingat proses pertumbuhan dan perkembangan kepribadian manu-sia bersifat hidup dan dinamis maka pendidikan wajar berlangsung selama manusia hidup.[10]
Di dalam UU RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, ditegaskan tentang pendidikan sepanjang hayat pada pasal 13 ayat (1) yang berbunyi: “Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya”.[11] Pada bagian pendidikan informal pada UU RI Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dijelaskan bahwa kegiatan pendidikan informal dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.
Dasar pendidikan sepanjang hayat bertitik tolak atas keyakinan bahwa proses pendidikan dapat berlangsung selama manusia hidup, melalui pendidikan formal, nonformal, dan informal baik di dalam, maupun di luar sekolah.
Membangun manusia pembelajar sepanjang hayat mungkin merupakan pekerjaan pendidikan yang paling khas. Di dalamnya terkandung perbuatan mengajar, mendidik, melatih, memberikan contoh, membangun keteladanan, bahkan mungkin memandu atau menggurui diri sendiri. Aneka perbuatan ini bukan terutama dimaksudkan agar individu atau kelompok mengetahui apa yang diajarkan, dilatihkan, dipandukan, dan sebagainya. Melainkan bagaimana mereka menjadi sadar akan makna belajar, dapat belajar untuk belajar, dan lebih penting lagi, dengan aneka stimulan itu dia menjadi manusia pembelajar secara mandiri.
Manusia pembelajar adalah orang-orang yang menjadikan kegiatan belajar, sebagai bagian dari kehidupan dan kebutuhan hidupnya. Manusia pembelajar belajar banyak hal, misalnya dari pengalaman keberhasilan atau kegagalan orang lain, pengalaman diri sendiri yang bersifat sukses atau yang bersifat gagal, dari buku-buku, jurnal, majalah, koran, hasil-hasil penelitian, hasil observasi, hingga yang bersifat spontan. Enam pilar utama yang mutlak ada untuk menjadi manusia pembelajar sepanjang hayat, yaitu:
 Pertama, Rasa ingin tahu. Inilah merupakan awal mula dari seseorang untuk menjadi manusia berpengetahuan. Manusia yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi adalah pembelajar sejati.
Kedua, Optimisme. Inilah modal dasar orang untuk tidak mudah menyerah dengan aneka keadaan. Adakalanya, bahkan mungkin banyak terjadi karena pesimistis, orang tiba-tiba menghentikan usaha atau perjuangannya ketika sesungguhnya keberhasilan itu sudah amat dekat untuk dicapai.
Ketiga, Keikhlasan. Orang-orang yang ikhlas nyaris tidak mengenal lelah. Dia selalu bergairah pada setiap keadaan. Banyak siasat, strategi atau akal baru yang dihasilkannya ketika dia berpikir dan memutuskan untuk berbuat. Muncul juga “energy kedua” (second win) dari dirinya, ketika dia sudah mulai merasa kelelahan tatkala masih diperlukan waktu cukup panjang dan energi cukup besar untuk menyelesaikan tugas pekerjaan. Sebaliknya, orang-orang yang tidak ikhlas, akan mencari argumen untuk mengelitimasi argumen “tidak mungkin” yang diucapkannya. Otot-ototnya pun kendor semua karena otaknya mengintruksikan, seperti itu.
Keempat, Konsistensi. Begitu banyak orang bekerja dalam format “keras kerak, yang tersiram air sedikit saja menjadi lembek”, “tergoda dengan hal baru lalu meninggalkan keputusan yang telah dibuat dan tengah dicoba dijalankan” dan sebagainya. Contoh dalam kehidupan sehari-hari, ada petani yang  ketika banyak orang menanam karet ikut pula menanam, ketika banyak orang menanam kelapa sawit ikut pula menanam kelapa sawit dengan memangkas karet yang baru tumbuh, ketika banyak orang menanam cokelat ikut pula menanam cokelat dengan memangkas kelapa sawit yang baru berumur beberapa tahun. Keinginannya mengikuti arus orang lain, padahal lahan yang dimiliki hanya sebatas itu.
Kelima, Pandangan visioner. Pandangan jauh ke depan, melebihi batas-batas pemikiran orang kebanyakan. Mereka yang termasuk kelompok ini jarang sekali tergoda untuk melakukan apa saja demi hasil yang instan, mengejar target jangka pendek dengan mengorbankan kepentingan jangka panjang.
Keenam, Tuntutan pekerjaan. Pekerjaan jenis tertentu menuntut pelakunya terus belajar dan berlatih mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan teknologi agar tidak ketinggalan zaman. Orang-orang yang bekerja dengan menggunakan perangkat lunak atau program yang sangat cepat pemutakhirannya, akan ketinggalan jika dalam waktu yang cukup lama tidak mengikuti perkembangan.[12]
Belajar seumur hidup atau belajar sepanjang hayat atau pendidikan sepanjang hayat merupakan aktivitas pembelajaran yang dilakukan oleh individu atau kelompok secara “seumur hidup”, “sukarela”, dan “memotivasi diri” untuk terus menerus mengikuti kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni baik untuk alasan pribadi, maupun profesional. Karena itu, pendidikan sepanjang hayat tidak hanya meningkatkan inklusi sosial, kewarganegaraan aktif dan pengembangan pribadi, melainkan juga daya saing dan kinerja.
Pemikiran ini bermakna adanya pengakuan bahwa belajar tidak hanya terbatas pada masa kanak-kanak atau di ruang-ruang kelas sekolah formal, melainkan berlangsung sepanjang hidup dan dalam berbagai situasi. Puluhan bahkan ratusan tahun terakhir, inovasi ilmiah dan perkembangan teknologi yang konstan telah berpengaruh besar pada kebutuhan dan gaya belajar individu atau kelompok. Belajar tidak lagi dapat dibagi ke dalam tempat dan waktu untuk memperoleh pengetahuan (sekolah), untuk menerapkan pengetahuan mengakuisisi (tempat kerja). Sebaliknya, pembelajaran dapat dilihat sebagai sesuatu yang terjadi secara terus-menerus dari interaksi sehari-hari dengan orang lain dan dengan dunia di sekitarnya.
B. Strategi Pendidikan Sepanjang Hayat
Dari beberapa uraian yang dikemukakan terdahulu, tampaknya penerapan cara berpikir menurut asas pendidikan sepanjang hayat akan mengubah pandangan setiap individu tentang status dan fungsi sekolah, tugas utama pendidikan sekolah adalah mengajar peserta didik cara belajar, peranan guru adalah sebagai motivator, stimulator, dan petunjuk jalan peserta didik dalam hal belajar, sekolah sebagai pusat kegiatan belajar (learning centre) bagi masyarakat sekitarnya. Dalam pandangan mengenai pendidikan sepanjang hayat, semua orang secara potensial merupakan peserta didik.
Pendidikan sepanjang hayat yang merupakan asas pendidikan dewasa ini, terus diamati baik di negara-negara maju, maupun negara yang sedang berkembang. Dalam konteks ini, diperlukan adanya strategi dalam penerapan pendidikan sepanjang hayat sehingga pendidikan bagi manusia dapat diartikan secara tepat dan benar.
Strategi dalam rangka pendidikan sepanjang hayat sebagaimana dijabarkan Soelaiman Joesoef meliputi hal-hal sebagai berikut.[13]
1.   Konsep-konsep Kunci Pendidikan Sepanjang Hayat
Pada pendidikan sepanjang hayat dikenal adanya empat macam konsep kunci berikut.
a. Konsep pendidikan sepanjang hayat itu sendiri
Sebagai suatu konsep, pendidikan sepanjang hayat diartikan sebagai tujuan atau ide formal untuk pengorganisasian dan penstrukturan pengalaman-pengalaman pendidikan.
Hal ini berarti pendidikan akan meliputi seluruh rentangan usia dari usia yang paling muda sampai paling tua, adanya basis institusi yang amat berbada dengan basis yang mendasari persekolahan konvensional.
b. Konsep Belajar Sepanjang Hayat
Pendidikan sepanjang hayat berarti peserta didik belajar karena respon terhadap keinginan yang didasari untuk belajar dan angan-angan pendidikan menyediakan kondisi-kondisi yang membantu belajar.
Jadi, istilah belajar ini merupakan kegiatan yang dikelola walaupun tanpa organisasi sekolah dan kegiatan ini justru mengarah pada penyelenggaraan asas pendidikan sepanjang hayat.
c. Konsep Metode Belajar Sepanjang Hayat
Metode belajar sepanjang hayat adalah orang-orang yang sadar tentang diri mereka sebagai pelajar sepanjang hayat, melihat belajar sebagai cara yang logis untuk mengatasi problema dan sangat terdorong untuk belajar di seluruh tingkat usia serta menerima tantangan dan perubahan sepanjang hayat sebagai pemberi kesempatan untuk belajar berkelanjutan.
Dalam keadaan demikian, perlu adanya sistem pendidikan yang bertujuan membantu perkembangan orang-orang secara sadar dan sistematik merespons untuk beradaptasi dengan lingkungan mereka sepanjang hayat (peserta didik dan belajar sepanjang hayat).
d. Kurikulum yang Membantu Pendidikan Sepanjang Hayat
Dalam konteks ini, kurikulum didesain atas dasar prinsip pendidikan sepanjang hayat betul-betul telah menghasilkan pembelajar sepanjang hayat yang secara berurutan melaksanakan belajar sepanjang hayat.
Kurikulum yang demikian merupakan kurikulum praktis untuk mencapai tujuan pendidikan dan mengimplementasikan prinsip-prinsip pendidikan seumur hidup.
2. Arah Pendidikan Sepanjang Hayat
Umumnya pendidikan sepanjang hayat diarahkan pada orang-orang dewasa dan anak-anak dalam rangka penambahan pengetahuan dan keterampilan mereka yang sangat dibutuhkan di dalam hidupnya.
C. Implementasi Pendidikan Sepanjang Hayat
Pendidikan merupakan perilaku manusia normal dan pembelajaran menjadi intinya. Istilah ”pendidikan” dengan istilah ”belajar” sering dikacaukan sehingga muncullah kata belajar sepanjang hayat (life long learning) atau pendidikan sepanjang hayat (life long education), yang dikenal juga dengan sebutan pendidikan seumur hidup. Istilah ”pendidikan” dimaknai sebagai proses pembentukan manusia seutuhnya, sedangkan belajar dimaknai sebagai proses perubahan perilaku sebagai hasil dari perbuatan belajar itu.[14]
Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan siswa atau peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Sesungguhnya, pembelajaran secara umum juga bermakna proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik dengan pengembangan kognitif dan emosional untuk memperoleh, meningkatkan, atau mengubah pengetahuan, keterampilan, nilai, serta pandangan mereka tentang dunia dan lingkungannya. Pendidikan dan belajar itu sendiri, sebagai suatu proses berfokus pada apa yang terjadi ketika aktivitas itu berlangsung.
Pendidikan sepanjang hayat menggunakan pilar utama belajar sendiri yang dapat direalisasikan dalam perpustakaan. Belajar mandiri atau sering disebut belajar berbasis arah-diri (self-directed learning) berfokus pada proses, individu atau kelompok mengendalikan pembelajaran mereka sendiri, khususnya menetapkan tujuan belajar, menemukan sumber daya yang tepat, menentukan metode pembelajaran yang digunakan dan mengevaluasi kemampuan belajar mereka sendiri. Bagi orang dewasa, aktivitas belajar mandiri dapat dilakukan dengan menggunakan jaringan sosial dan dukungan kelompok sebaya.
Dalam kerangka ini, pembelajar harus mengembangkan refleksi kritis, suatu metode yang telah lama diakui sebagai bentuk dan proses pembelajaran khas orang dewasa. Sebagai refleksi kritis ide-ide dalam belajar berfokus pada tiga proses yang saling terkait;
1.   Proses orang dewasa merumuskan pertanyaan dan kemudian mengembangkan kerangka asumsi sesuai dengan kearifan akalnya;
2.   Proses orang dewasa membuat perspektif alternatif atas ide-ide, tindakan, bentuk-bentuk pemikiran, dan ideologi; dan
3.   Proses orang dewasa mampu mengenali dan mengaplikasikan aspek-aspek substantif yang dipelajari secara representatif. Dari sisi pandang psikologi dan pendidikan, refleksi kritis terkait dengan karakteristik tertentu dari kepribadian individu.[15]
Pendidikan atau belajar sepanjang hayat pun sangat mementingkan pengalaman dan belajar dari pengalaman itu sendiri. Pengalaman adalah buku yang hidup bagi pembelajar dewasa. Bagi orang dewasa atau peserta didik dewasa, pengalaman itu merupakan sebuah proses yang bersinambungan atas dasar evaluasi dari apa yang dialami. Penekanan ”pengalaman” sebagai sisi terpenting dari belajar untuk menggambarkan praktik pendidikan orang dewasa dalam masyarakat yang heterogen. Bagi peserta didik dewasa, pengalaman menjadi sumber yang berharga. Mungkin seorang peserta didik pernah mengidentifikasi dan menemukan cara belajar terbaik untuk bidang ilmu tertentu dan pada waktu yang tertentu pula. Cara terbaik itu adalah pengalaman yang berharga baginya untuk ”belajar bagaimana belajar” lebih lanjut.
Untuk bisa menjadi pembelajar sepanjang hayat, individu atau kelompok harus mampu belajar untuk belajar. Kemampuan individu atau kelompok untuk mengetahui ”belajar bagaimana belajar” atau ”belajar menjadi terampil belajar” dalam berbagai situasi dan gaya yang berbeda, merupakan esensi dari belajar sepanjang hayat ini.
Konsepsi ”belajar cara belajar” atau ”belajar bagaimana belajar” adalah setiap upaya individu atau kelompok untuk mengembangkan wawasan tentang cara dan kebiasaan belajar mereka sendiri dengan cara mereka sendiri, meski tidak selalu bermakna dalam kesendirian. Belajar cara belajar melibatkan kesadaran epistemologis, lebih dari sekadar mengetahui satu nilai pengembangan kognitif atau salah satu pola pilihan belajar. Dalam konteks ini individu atau kelompok memiliki kesadaran sendiri tentang bagaimana mereka mengetahui apa yang mereka ketahui, apa alasan, asumsi, bukti, dan justifikasi yang mendasari keyakinan bahwa sesuatu itu benar.[16]
Pendidikan atau pembelajaran sepanjang hayat menawarkan konsep bagaimana orang belajar, menjadi kreatif, memiliki efektivitas diri tingkat tinggi, dapat menerapkan kompetensi dalam situasi kehidupan dan dapat bekerja secara baik dengan orang lain. Kesemuanya itu dilakukan atas dasar kesadaran sendiri, tanpa ikatan formal atau struktural apa pun. Konsepsi ini menempatkan pembelajar benar-benar bertanggung jawab atas apa yang mereka pelajari dan kapan mereka belajar, serta bagaimana mereka sadar untuk menjadi pembelajar sejati. Pembelajar menyediakan kerangka kerja bagi pembelajaran pribadinya secara bertanggung jawab untuk lebih maju.
Implikasi dalam konsep ini diartikan sebagai akibat langsung atau konsekuensi dari suatu keputusan. Maksudnya adalah sesuatu yang merupakan tindak lanjut (follow up) suatu kebijakan atau keputusan tentang pelaksanaan pendidikan sepanjang hayat.
Dunia ini menyediakan ruang belajar bagi siapa pun tanpa diskriminasi dalam bentuk apa pun. Meski begitu, belajar sepanjang hayat tetap berlangsung pada konteks (life long learning contexts) karena belajar dan mempelajari apa pun juga terus berlangsung pada konteksnya, tidak pada ruang yang hampa. Inilah yang disebut sebagai konteks belajar seumur hidup.
Meskipun istilah ”belajar sepanjang hayat” banyak digunakan dalam berbagai konteks ”artinya” sering tidak jelas. Mana belajar dalam makna ”belajar biasa” dan mana pula belajar dalam makna ”belajar sepanjang hayat” karena esensi belajar adalah sama, hanya sifatnya saja yang berbeda. Pada sisi lain, konteks belajar sepanjang hayat itu sendiri kadang-kadang mengalami bias istilah, seperti istilah home schooling yang jika diterjemahkan secara serta-merta berarti ”persekolahan rumah”, padahal kata schooling dalam keseharian hampir selalu diberi makna persekolahan atau sekolah formal.
Ada beberapa konteks yang dibangun dalam kerangka belajar sepanjang hayat di luar konsep ”belajar tradisional” pada ruang kelas atau ruang kuliah. Beberapa konteks tersebut:
1.   Pendidikan di rumah (home schooling), mencakup belajar untuk belajar atau mengembangkan pola pembelajaran informal.
2.   Pendidikan orang dewasa (adult education) atau akuisisi kualifikasi formal atau belajar di luar struktur persekolahan, bahkan mungkin sambil rekreasi.
3.   Pendidikan berkelanjutan (continuing education), yang sering menjelaskan program pendidikan atau pelatihan berkelanjutan ketika telah menekuni profesi atau menyelesaikan jenjang pendidikan tententu di perguruan tinggi.
4.   Pengetahuan pekerjaan (knowledge work) yang meliputi pengembangan profesional dan pelatihan di dalam pekerjaan.
5.   Lingkungan belajar pribadi (personal learning environments) atau pembelajaran yang  ”diarahkan” secara mandiri dengan menggunakan berbagai sumber dan alat-alat, termasuk aplikasi online.[17]
Peserta didik yang berhasil istimewa di sekolah-sekolah formal umumnya terdiri dari mereka yang lebih sadar akan proses belajarnya dan menunjukkan cara mereka mengatur proses untuk belajar lebih efektif sepanjang hidupnya. Belajar sepanjang hayat, seperti dijelaskan sebelumnya biasanya bermodalkan kesukarelaan dan motivasi diri dalam kerangka belajar untuk belajar, yaitu mengenali strategi pembelajaran, memonitor, dan mengevaluasi pembelajaran. Hal ini merupakan prakondisi untuk belajar sepanjang hayat.
Belajar sepanjang hayat kadang-kadang bertujuan untuk menyediakan kesempatan pendidikan di luar standar sistem pendidikan yang berbiaya mahal. Di dunia kerja, belajar sepanjang hayat ini menjadi keharusan dalam rangka menyesuaikan diri dengan persyaratan profesional yang dibutuhkan, bahkan di beberapa universitas dibuat aneka jenis profesi yang ”wajib” melakukan pembelajaran sepanjang hayat, seperti mentor, pelatih, penilai, konsultan, manajemen proyek, desainer kurikulum, dan penasehat.
Penerapan asas pendidikan sepanjang hayat pada isi program pendidikan dan sasaran pendidikan di masyarakat mengandung kemungkinan yang luas dan bervariasi. Implikasi pendidikan sepanjang hayat pada program pendidikan, sebagaimana dikemukakan oleh Ananda W.P. Guruge dalam bukunya Toward Better Educational Management, dapat dikelompokkan menjadi beberapa kategori berikut.[18]
1. Pendidikan Baca Tulis Fungsional
Program ini tidak saja penting bagi pendidikan sepanjang hayat karena relevansinya dengan kondisi yang ada pada negara-negara berkembang dengan alasan masih banyaknya penduduk buta huruf, melainkan juga sangat penting ditinjau dari implementasinya. Bahkan, di negara yang sudah maju sekalipun radio, film, tv, dan komputer sampai internet telah menantang ketergantungan orang akan bahan-bahan bacaan, namun membaca masih merupakan cara yang paling murah, praktis untuk mendapatkan dan menyebarkan pengetahuan.
Sulit untuk membuktikan peranan melek huruf fungsional terhadap pembangunan sosial ekonomi masyarakat, namun pengaruh IPTEK terhadap kehidupan masyarakat misalnya petani, justru disebabkan oleh pengetahuan-pengetahuan baru dalam diri mereka. Pengetahuan baru ini dapat diperoleh melalui bahan bacaan.
Realisasi baca tulis fungsional, minimal memuat dua hal, yaitu
a. Memberikan kecakapan membaca, menulis, menghitung (3M) yang fungsional bagi peserta didik.
b. Menyediakan bahan-bahan bacaan yang diperlukan untuk mengembangkan lebih lanjut kecakapan yang telah dimilikinya tersebut.[19]
2. Pendidikan Vokasional
Pendidikan vokasional sebagai program pendidikan di luar sekolah bagi anak di luar batas usia sekolah, atau sebagai program pendidikan formal dan non formal dalam rangka apprentice ship training, merupakan salah satu program penting dalam rangka pendidikan sepanjang hayat.
Pada kebanyakan negara berkembang yang sistem pendidikan formalnya umumnya diambil dari negara Barat, output pendidikan sekolah pada umumnya dirasakan kurang sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang sedang membangun. Oleh sebab itu, program pendidikan bersifat remedial agar para lulusan sekolah tersebut menjadi tenaga kerja yang produktif menjadi sangat penting, namun yang lebih penting ialah bahwa pendidikan vokasional ini tidak boleh dipandang sekali jadi lantas selesai.
Berkembang dan majunya ilmu pengetahuan dan teknologi serta semakin meluasnya industrialisasi, menuntut pendidikan vokasional itu tetap dilaksanakan secara kontinyu.
3. Pendidikan Profesional
Sebagai realisasi pendidikan sepanjang hayat, dalam tiap-tiap profesi hendaknya telah tercipta built in mechanism yang memungkinkan golongan profesional terus mengikuti berbagai kemajuan dan perubahan menyangkut metodologi, perlengkapan, terminologi, dan sikap profesionalnya.
4. Pendidikan ke Arah Perubahan dan Pembangunan
Diakui bahwa era globalisasi dan informasi yang ditandai dengan pesatnya perkembangan IPTEK telah mempengaruhi berbagai dimensi kehidupan masyarakat, dari cara memasak yang serba menggunakan mekanik dan elektronik, sampai dengan cara menerobos angkasa luar. Kenyataan ini tentu saja konsekuensinya menuntut pendidikan yang berlangsung secara kontinyu (life long education).[20]
Pendidikan bagi anggota masyarakat dari berbagai golongan usia agar mereka mampu mengikuti perubahan sosial dan pembangunan juga merupakan konsekuensi penting dari asas pendidikan sepanjang hayat.
5. Pendidikan Kewarganegaraan dan Kedewasaan Politik
Di samping tuntutan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, dalam kondisi sekarang, pola pikir masyarakat semakin maju dan kritis, baik rakyat biasa,  maupun pemimpin pemerintahan di negara yang demokratis, diperlukan pendidikan kewarganegaraan dan kedewasaan politik bagi setiap warga negara. Pendidikan sepanjang hayat yang bersifat kontinyu dalam konteks ini merupakan konsekuensinya.
6. Pendidikan Kultural dan Pengisian Waktu Senggang
Spesialisasi yang berlebih-lebihan dalam masyarakat, bahkan dimulai pada usia muda dalam program pendidikan formal di sekolah, membuat manusia berpandangan sempit pada bidangnya sendiri, buta akan nilai-nilai kultural yang terkandung dalam warisan budaya masyarakat sendiri.
Bagi orang-orang terpelajar diharapkan mampu memahami dan menghargai nilai-nilai agama, sejarah, kesusastraan, filsafat hidup, seni, dan musik bangsanya sendiri. Pengetahuan tersebut dapat memperkaya hidupnya, terutama segi pengalaman yang memungkinkannya untuk mengisi waktu senggangnya dengan menyenangkan. Oleh karena itu, pendidikan kultural dan pengisian waktu senggang secara konstruktif merupakan bagian penting dari life long education.
Sementara itu, implikasi konsep life long education ini pada sasaran pendidikan, juga diklasifikasi dalam enam kategori yang meliputi:
1.   Para buruh dan petani;
2.   Golongan remaja yang terganggu pendidikan sekolahnya;
3.   Para pekerja yang berketerampilan;
4.   Golongan teknisi dan profesional;
5.   Para pemimpin dalam masyarakat;
6.   Golongan masyarakat yang sudah tua.[21]
Hal yang dikemukakan di atas barangkali hanyalah sebagian kecil dari implikasi konsep pendidikan sepanjang hayat pada program-program dan sasaran pendidikan sebab kondisi sekarang kebutuhan dan tekanan baru justru lebih kompleks. Gelombang perubahan politik, sosial, dan ilmu pengetahuan merambah hampir semua aspek kehidupan masyarakat. Pendidikan sepanjang hayat menekankan kerja sama antara keluarga dan sekolah dalam menciptakan pengalaman pendidikan bersama. Para pendukung pendidikan sepanjang hayat menerima individualitas kebudayaan keluarga dan menempatkannya sebagai salah satu agen pendidikan dalam masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas maka penerapan cara berpikir menurut asas pendidikan sepanjang hayat itu akan mengubah pandangan setiap individu tentang status dan fungsi sekolah, tugas utama pendidikan sekolah adalah mengajar peserta didik tentang cara belajar; peranan guru terutama adalah sebagai motivator, stimulator, dan petunjuk jalan peserta didik dalam hal belajar; sekolah sebagai kegiatan belajar; dan perpustakaan sebagai pusat pembelajaran sepanjang hayat yang menjadikan semua orang secara potensial merupakan peserta didik.
Tokoh-tokoh penganjur life long education mengembangkan sejumlah argumentasi yang berbeda. Dikemukakan bahwa pendidikan sepanjang hayat akan meningkatkan persamaan distribusi pelayanan pendidikan, memiliki implikasi ekonomi yang menyenangkan, alternatif dalam menghadapi struktur sosial yang cenderung selalu berubah, mengantarkan pada peningkatan kualitas hidup dan sebagainya.
Berikut ini akan dikemukakan beberapa hal perlunya pendidikan sepanjang hayat tersebut.
1)   Pertimbangan ekonomi
Dengan terus berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, dunia pendidikan pun terus berkembang. Akibat perkembangan ini adalah semakin berkompetisinya lembaga-lembaga pendidikan terutama dalam hal kualitas. Dengan hal ini pada gilirannya terjadilah semacam klasifikasi atau penggolongan sekolah sebagai lembaga pendidikan, ada sekolah favorit, unggulan, plus, dan sebagainya. Kenyataan ini tentu saja membawa dampak dengan semakin mahalnya biaya pendidikan.
Untuk saat ini, biaya pendidikan tampaknya sudah mendekati titik puncak, masyarakat diragukan kemampuannya membiayai pendidikan lebih jauh. Untuk negara-negara yang sedang berkembang permasalahan ini sudah sampai pada tahap yang memprihatinkan.
Para tokoh pendidikan sepanjang hayat melihat bahwa pembentukan sistem pendidikan berfungsi sebagai basis untuk memperoleh keterampilan tipe baru yang secara ekonomis berharga dan menguntungkan masyarakat. Tidak berarti mereka menekankan bahwa pendidikan sepanjang hayat akan dapat meningkatkan produktivitas pekerja dan akan meningkatkan keuntungan, tetapi hal yang lebih penting adalah untuk meningkatkan kualitas hidup, memperbesar pemenuhan kebutuhan hidup, melepaskan dari kebodohan, kemiskinan, dan eksploitasi.
Pengakuan adanya hubungan antara pendidikan dan pertumbuhan ekonomi, serta kemajuan personal dan kehidupan sosial yang berurutan, akan melengkapi argumentasi ekonomi lebih jauh untuk mengadakan perubahan radikal sistem pendidikan. Dengan adanya pendidikan, pertumbuhan ekonomi, dan peningkatan kualitas hidup mempunyai hubungan yang sangat erat.
2)   Keadilan
Tuntutan akan adanya persamaan serta kesempatan yang sama dalam memperoleh pendidikan terus digaungkan, bahkan untuk Indonesia diatur sedemikian rupa di dalam UUD 1945, seperti tertuang pada pasal 31 ayat (1): ”Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran”.[22]
Upaya-upaya untuk menuruti keinginan tersebut memang senantiasa dilakukan karena pada negara-negara yang sedang berkembang umumnya, pendidikan yang dikembangkan merupakan warisan pemerintah kolonial yang tentu saja membatasi perkembangan nasional dalam kesamaan hak untuk mendapat pendidikan.
Keinginan untuk memperoleh kesempatan pendidikan tersebut, banyak pengamat berpendapat bahwa sekolah yang ada sekarang pada pokoknya berjalan untuk mempertahankan status quo, peserta didik untuk menyesuaikan diri dengan posisi sosial tertentu dan untuk melestarikan tatanan yang sudah ada. Tampaknya pengetahuan yang diberikan di sekolah tradisional tidak ubahnya, seperti menyampaikan komoditas kepada konsumen dan ketidaksamaan dipertahankan oleh pengaruh kontrol pendirian pendidikan yang ingin menyampaikan pengetahuan dengan cara yang cepat. Konteks ini berbeda dengan pendidikan sepanjang hayat yang pada prinsipnya bertujuan untuk mengeliminasi peranan sekolah sebagai alat untuk melestarikan ketidakadilan, seperti di atas.
3)   Faktor peranan keluarga
Satu hal yang tidak bisa dipungkiri bahwa dalam kondisi, seperti sekarang ini di berbagai sektor kehidupan telah terjadi pergeseran atau perubahan, termasuk dalam hal ini keluarga dengan segala peranannya. Menurut Coleman, keluarga berfungsi sebagai sentral sumber pendidikan pada waktu yang silam. Lebih lanjut Coleman mengemukakan bahwa situasi ini sekarang telah berubah sehingga keluarga sedikit demi sedikit berkurang peranannya dalam mendidik anak-anak. Ini dapat dilihat dalam bidang moral, afektif, dan pendidikan sosial.[23]
Pendidikan sepanjang hayat melalui perpustakaan dapat melengkapi kerangka dasar pendidikan yang memungkinkan mengambil alih tugas yang dulunya ditangani keluarga. Dalam masalah ini harus diperhatikan bahwa penekanan peranan pendidikan seumur hidup sebagai pembantu keluarga, berarti akan memperluas sistem pendidikan agar dapat menjangkau anak-anak awal dan orang dewasa. Dengan harapan, pengakuan pentingnya pendidikan moral dan sosial, serta desakan terhadap sekolah untuk melakukan peranan pendidikan yang dilakukan keluarga, akan memperkuat dan menghidupkan kembali pengaruh rumah dalam proses interaksi antar beberapa faktor yang berpengaruh terhadap anak.
4)   Faktor perubahan peranan sosial
Antara keluarga dengan keadaan sosial di luarnya mempunyai hubungan yang sangat erat, tetapi perubahan yang terjadi dan dialami keduanya cukup berbeda. Garis antara orang dewasa dengan anak-anak secara tradisional sangat jelas dalam keluarga masyarakat yang tidak maju. Perkembangan yang kompleks dalam hal penggunaan teknologi di masyarakat yang maju, menyebabkan pentingnya perluasan konsep pendidikan anak.
Anak-anak secara tradisional harus disekolahkan, sedangkan orang dewasa tidak demikian, namun untuk kondisi sekarang sulit memisahkan kenyataan, seperti itu, misalnya seorang pemuda berumur 18 tahun barangkali sudah kawin dan bekerja, sedangkan orang dewasa berumur 30 tahun masih berstudi. Dasar ini, tentu saja diperlukan perluasan konsep pendidikan dan perluasan rentangan usia yang ditampung dalam pendidikan.[24]
Masih banyak persoalan sosial lainnya yang membawa pada perubahan-perubahan, dalam hal ini pendidikan harus berisi elemen penting yang kuat dan memainkan peranan sosial yang amat beragam untuk mempermudah individu melakukan penyesuaian terhadap perubahan hubungan antara mereka dengan orang lain.
5)   Perubahan teknologi
Pada prinsipnya, teknologi berhubungan erat dengan faktor-faktor di atas sebab bagaimanapun terjadinya perubahan peranan baik keluarga, maupun keadaan sosial di luarnya, salah satu penyebab utamanya adalah perkembangan teknologi yang berlangsung dengan cepat.
Pertumbuhan teknologi menyebabkan meningkatnya persediaan informasi, mengubah sifat-sifat pekerjaan, meningkatnya urbanisasi, keberhasilan bidang kesehatan yang berakibat meningkatnya usia harapan hidup dan menurunnya angka kematian, semakin banyak tersedia kekayaan materi yang berakibat keduniaan dan materialisme menjiwai nilai-nilai budaya dan spiritual, serta berakibat pula kerengganan dan keterasingan manusia yang satu dengan yang lainnya.
Kenyataan tersebut akan menimbulkan ketidakpastian keterampilan yang diperlukan dunia mendatang dan juga berakibat lunturnya kekeluargaan, ketidakpas-tian peranan sosial dan hubungan interpersonal di masa depan. Akibatnya, basis keorganisasiaan baru di bidang pendidikan menjadi sangat penting dan diperlukan.
6)    Faktor-faktor vocational
Persoalan ini dimuculkan sekarang karena dinyatakan bahwa kejuruan yang diperlukan dunia di masa mendatang secara drastis berbeda dengan apa yang ada sekarang. Dalam hal ini, kemampuan sistem pendidikan, seperti yang ada sekarang untuk membekali anak dengan keterampilan khusus yang diperlukan untuk keberhasilan di masa mendatang tampaknya masih diragukan.
Ada beberapa alasan yang menyatakan bahwa salah satu unsur kejuruan di masa mendatang akan mengalami perubahan, yakni keterampilan kejuruan yang cepat laku dan terjadinya perubahan tidak hanya pada generasi mendatang, tetapi juga terjadi pada generasi yang ada sekarang. Artinya, para pekerja di masa mendatang perlu meninggalkan keterampilan yang sudah lama dimilikinya dan menggantikannya dengan yang baru dan barangkali tidak hanya sekali pergantian, tetapi mungkin berulangkali.
Peserta didik perlu diberikan kemampuan untuk bereaksi secara positif terhadap perubahan baik dari segi meneruskan kemampuan yang secara kejuruan berguna bagi masyarakat, maupun kemampuan untuk mempertahankan identitas mereka dalam menghadapi jenis pekerjaan yang amat berbeda dengan apa yang ada sekarang.
7)   Kebutuhan-kebutuhan orang dewasa
Sekarang ini, orang dewasa mengalami efek cepatnya perubahan dalam bidang keterampilan yang mereka miliki, misalnya ancaman keusangan membayangi banyak pekerja dan hal ini tidak hanya terjadi pada pekerja-pekerja kasar, tetapi justru merambah kepada orang yang sudah profesional.[25]
Sebagai respon terhadap masalah ini, dibanyak negara telah dikembangkan kelas-kelas untuk para orang dewasa. Sistem pendidikan diupayakan di organisasi sedemikian rupa untuk membantu belajar masa dewasa di berbagai tingkatan masyarakat. Berkenaan dengan ini tampaknya perlu dikesampingkan pandangan yang menyatakan bahwa seseorang hanya belajar pada masa persekolahan formal antara sekitar usia 6 tahun sampai 18 tahun. Secara radikal berarti perubahan pandangan mengenai kapan seseorang harus disekolahkan dan sekolah apa, yang dalam hal ini memerlukan politik pendidikan sepanjang hayat.
8)   Kebutuhan anak-anak awal
Kelompok usia anak-anak awal merupakan kelompok umur kedua di luar masa persekolahan yang normalnya tersedia. Sebagaimana orang dewasa, akhir-akhir ini ditandai dengan meningkatnya animo masyarakat terhadap pendidikan anak umur di bawah 6 tahun, atau yang sekarang lebih dikenal dengan Taman Kanak-Kanak, bahkan untuk Indonesia yang disebut dengan pendidikan prasekolah diatur secara rinci di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1990. Menurut PP tersebut, pendidikan prasekolah bertujuan untuk membantu meletakkan dasar ke arah perkembangan sikap, pengetahuan, keterampilan, dan daya cipta yang diperlukan oleh peserta didik dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan untuk pertumbuhan serta perkembangan selanjutnya.[26]
Para ahli mengakui bahwa masa anak-anak awal merupakan fase perkembangan yang mempunyai karakteristik tersendiri, bukan semata-mata masa penantian untuk memasuki periode anak-anak, remaja, dan dewasa.
Pada dasarnya anak-anak awal sudah memiliki kemampuan untuk berpikir dan mengerti meskipun belum memadai perhatian yang diberikan terhadap kenyataan ini dalam perencanaan pelayanan pendidikan. Di samping itu, juga perlu diperhatikan bahwa penelitian kejiwaan sekarang telah menunjukkan pentingnya masa anak-anak awal sebagai fase kritis pertumbuhan dalam bidang antara lain, perkembangan intelektual, perhatian, konsentrasi, kewaspadaan, pertumbuhan kognitif dan perkembangan sosial.
Salah seorang ahli pendidikan, yaitu Bloom mereview beberapa studi penting dalam bidang di atas dan menyimpulkan bahwa antara umur 2 sampai 10 tahun, anak-anak mengembangkan kemampuan kognitif, seperti bahasa dan keterampilan yang dipelajari dari orang dewasa serta sosio afektif, seperti kebutuhan untuk berprestasi, perhatian, dan kebiasaan bekerja yang baik.[27]
Masa anak-anak awal merupakan basis untuk perkembangan kejiwaan selanjutnya meskipun dalam tingkat tertentu pengalaman-pengalaman yang datang belakangan dapat memodifikasi perkembangan yang fondasinya sudah diletakkan oleh pengalaman sebelumnya. Perkembangan berikutnya adalah untuk mengikuti bagian yang optimal, anak-anak awal tidak hanya siap untuk memperoleh keuntungan dari lingkungan yang mendidik, tetapi mereka juga membutuhkan stimulasi jenis-jenis pengalaman yang tepat.
Terwujudnya pendidikan sepanjang hayat merupakan kata kunci yang utama ketika pustakawan mampu mengembangkan, mengolah, menyebarkan termasuk mempromosikan informasi yang ada di perpustakaannya. Kerjasama unsur terkait (stakeholder) juga merupakan tantangan sekaligus harapan agar dapat terealisasi.
III. PENUTUP
A. Kesimpulan
1.      Di Indonesia, konsepsi pendidikan sepanjang hayat baru mulai di masyarakatkan melalui kebijaksanaan negara (TAP MPR No. IV/MPR/1973 jo. TAP No. IV/MPR/1978 tentang GBHN) yang menetapkan prinsip-prinsip pembangunan nasional. Berkembangnya potensi peserta didik merupakan konsepsi dasar tujuan pendidikan nasional, seperti yang dirumuskan di dalam UU RI No. 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003 Pasal 3. Dasar pendidikan sepanjang hayat bertitik tolak atas keyakinan bahwa proses pendidikan dapat berlangsung selama manusia hidup, melalui pendidikan formal, nonformal, dan informal baik di dalam, maupun di luar sekolah.
2.   Strategi dalam rangka pendidikan sepanjang hayat sebagaimana dijabarkan Soelaiman Joesoef meliputi: a. Konsep pendidikan sepanjang hayat itu sendiri; b. Konsep Belajar Sepanjang Hayat; c. Konsep Metode Belajar Sepanjang Hayat; d. Kurikulum yang Membantu Pendidikan Sepanjang Hayat.
3.   Implementasi Pendidikan sepanjang hayat menggunakan pilar utama belajar sendiri yang dapat direalisasikan dalam perpustakaan. Belajar mandiri atau sering disebut belajar berbasis arah-diri (self-directed learning) berfokus pada proses, individu atau kelompok mengendalikan pembelajaran mereka sendiri, khususnya menetapkan tujuan belajar, menemukan sumber daya yang tepat, menentukan metode pembelajaran yang digunakan dan mengevaluasi kemampuan belajar mereka sendiri. Bagi orang dewasa, aktivitas belajar mandiri dapat dilakukan dengan menggunakan jaringan sosial dan dukungan kelompok sebaya.
DAFTAR PUSTAKA

Bochari, Mochtar. Spektrum Problematika Pendidikan di Indonesia. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994.
Coleman, J.S. How do the Young Become Adult. New York: Review of Educational Research, 1972.
Danim, Sudarwan. Pengantar Kependidikan: Landasan, teori, dan 234 Metafora Pendidikan. Bandung: Alfabeta, 2010.
Darmaningtyas. Pendidikan pada dan Setelah Krisis: Evaluasi Pendidikan pada Masa Krisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
Djiwandono, Sri Esti Wuryani. Psikologi Pendidikan. Cet. 3; Jakarta: Grasindo, 2006.
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penerjemah al-Qur’an, 2002.
------------. Himpunan Perundang-undangan Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Dirjen Binbaga Islam, 1991/1992.
Hasbullah. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999.
Idris, Zahara. Dasar-Dasar Kependidikan. Bandung: Angkasa, 1981.
Jabatan Fungsional Pustakawan dan Angka kreditnya. Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No. 132/KEP/M.PAN/12/2002, dan Keputusan Bersama Kepala Perpustakaan Nasional RI, dan Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara No. 23 tahun 2003, dan No. 21 Tahun 2003. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI, 2003.
James, Gibson L. Organisasi dan manajemen. Jakarta: Erlangga, 1997.
Joesoef, Soelaiman. Konsep Dasar Pendidikan Luar Sekolah. Jakarta: Bumi Aksara, 1992.
----------, dan Slamet Santoso. Pendidikan Luar Sekolah. Surabaya: Usaha Nasional, 1981.
Kasnawi, M. Tahir, dan Sulaiman Asang, Perubahan sosial, dan Pembangunan. Jakarta: Penerbit Universitas Terbuka, 2009.
Lengrand. An Introduction to Life Long Education. Paris: UNESCO, 1970.
Rohmat, Mulyana. Mengartikulasi Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabet, 2004.
Republik Indonesia. ”Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (KEPMENPAN) No. 136/KEP/M.PAN/12/2002 tentang Jabatan Fungsional Pustakawan dan Angka Kreditnya Jakarta: Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, 2002.
----------. Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003.
----------. Garis-garis Besar Haluan Negara, Bab IV, Bagian Pendidikan.
----------. UUD 1945 dan Amandemennya.
Tilaar, H.A.R. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Cet. 1; Jakarta: Rineka Cipta, 2000.
Tim Dosen FIP IKIP Malang. Pengantar Dasar-dasar Kependidikan. Surabaya: Usaha Nasional, 1988.
Thoha, Miftah. Beberapa Aspek Kebijakan Birokrasi. Yogyakarta: Media Widya Mandala, 1991.
Vembriarto, St. Kapita Selekta Pendidikan. Yogyakarta: Yayasan Pendidikan Paramita, 1981.


[1]Pustakawan adalah Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan kegiatan kepustakawanan pada unit-unit perpustakaan, dokumentasi, dan informasi (perpusdokinfo) di instansi pemerintah dan atau unit tertentu lainnya. Lihat Peraturan Kepala Perpustakaan Nasional Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Pustakawan dan Angka Kreditnya (Jakarta: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, 2008), h. 2.
[2]Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan (Jakarta: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, 2008), h. 1-2.
[3]Ibid., h. 1-5.
[4]Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, 2002), h. 688.
[5]Ibid., h. 389.
[6]St. Vembriarto, Kapita Selekta Pendidikan (Yogyakarta: Yayasan Pendidikan Paramita, 1981), h. 105.
[7]UNESCO adalah singkatan dari United Nations Educationals Scientific and Cultural Organization, suatu badan dunia dari PBB yang bergerak dalam dunia pendidikan.
[8]Republik Indonesia, Garis-garis Besar Haluan Negara, Bab IV, Bagian Pendidikan, h. 37.
[9]Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,  bab II, pasal 3.
[10]Tim Dosen FIP IKIP Malang, Pengantar Dasar-dasar Kependidikan (Surabaya: Usaha Nasional, 1988), h. 139-140.
[11]Republik Indonesia, op. cit., h. 66.
[12]Sudarwan Danim, Pengantar Kependidikan: Landasan, Teori, dan 234 Metafora Pendidikan (Bandung: Alfabet, 2010), h. 241-246.
[13]Lihat Soelaiman Joesoef, Konsep Dasar Pendidikan Luar Sekolah (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h. 35-38.
[14]Suwardi Danim, Pengantar Kependidikan: Landasan, Teorim dan 234 Metafora Pendidikan (Cet. I; Bandung: Alfabet, 2010), h. 141.
[15]Ibid., h. 152.
[16]Lihat Ibid., h. 142-143.
[17]Ibid., h. 144.
[18]Dikutip oleh Soelaiman Joesoef dan Slamet Santoso, Pendidikan Luar Sekolah (Surabaya: Usaha Nasional, 1981), h. 26-29. Lihat juga Zahara Idris, Dasar-Dasar Kependidikan (Bandung: Angkasa, 1981), h. 61-63.
[19]Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan (Ed. Revisi; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), h. 72.
[20]Ibid., h. 72.
[21]Ibid., 74.
[22]Republik Indonesia, UUD 1945 dan Amandemennya, bab XIII, pasal 31.
[23]Lihat J.S. Coleman, How Do the Young Become Adult (New York: Review of Educational Research, 1972), h. 41.
[24]Hasbullah., op. cit., h. 78.
[25]Ibid., h. 79.
[26]Departeman Agama Republik Indonesia, Himpunan Perundang-undangan Sistem Pendidikan Nasional (Jakarta: Dirjen Binbaga Islam, 1991/1992), h. 48.
[27]Sri Esti Wuryani Djiwandono, Psikologi Pendidikan (Cet. 3; Jakarta: Grasindo, 2006), h. 72.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar